Percayalah, ada tangan-tangan yang sengaja mempertemukan
kami.
Petang bergelayut, bersiap
menerbangkan kelambunya pada langit-langit merah. Burung-burung terbang rendah,
mencari setiap celah untuk kembali meraih cahaya. Pada sebuah janji, telah
tertuliskan dalam kata dan hendak ditepati sesegera. Aku meraihkan langkahku
menujumu. Ke tempat yang kita sandingkan napas-napas merah jambu, sekadar
meraibkan seberkas rindu.
Suara panggilan dari Tuhan bergema.
Beberapa insan berlari kecil menuju parkit-parkit kayu yang hangat. Menyerahkan
diri, memohon sebaris
pinta untuk menghapus air mata,
serta agar keberkahan
tetap berada pada pucuk-pucuk lentera. Kemudian, salam berkumandang. Lantas,
berbondong manusia saling
berpaling mengerjakan keperluan dunianya lagi. Namun, aku masih merintih.
Berdialog dengan Dzat untuk berantai skenario gelisah.
“Tuhan, bila ia jodohku maka
dekatkanlah. Namun, apabila bukan maka jauhkanlah,” harapku sebelum berjalan ke
arahmu.
***
Aku mengenalmu hanya dalam hitungan
jemari hari. Tiada pula yang memaksa sebuah perjumpaan ini. Suatu
hari, aku datang
menawarkan cerita pedih ibukota pada dunia. Dan kau, terkesan memberikan titah
untuk menawan segenap kisah.
Lain waktu, aku berkunjung pada halamanmu.
Kurasa, kembang api ialah salah satu memori yang takkan terlupa bagi kami.
Lewat dentumannya pada pertengahan malam, sanggup mengangkat sesiapa yang diam
menjadi lebih mengumbar kata. Dan kau, kucerna merasa bahagia
menyambutku,
yang sengaja menarik perhatianmu.
Oh, inikah yang dimaksud jatuh cinta?
Ketika kau mengalihkan seluruh pandang, dan hanya bersedia memagut ke arahnya.
Atau, saat kau tiada bertali menghiraukan sedih, serta berfokus pada kisah-kisah surgawi. Sayang, kau harus tahu, itulah yang sebenarnya kurasakan padamu.
***
Kau merasukkan pertemuan di depan
gedung kayu yang megah. Aku duduk sambil mencermati sesiapa yang lewat dengan
segera. Kau di mana?
Adakah lekukmu
tengah hijrah? Aku mencarimu.
Lalu,
sekejap mata kau hadir,
membawa parasmu yang merona secerlang lautan siang. Tudung biru tua, dipadu dengan gamis berwarna langit
membuat pertemuan ini terasa
cerah. Oh, kalau kau menyadari, Sayang, sungguh, aku juga
memakai warna yang sama untuk setelan kemeja dan celanaku. Seperti inikah yang
namanya kebetulan?
Sapaku mengawali pembicaraan, sambil
berjalan, menuju relung yang lebih tenang. Dan tanpa kita sadari, cahaya lampu sebuah kedai rela menjadi saksi untuk
obrolan malam ini.
Kau
tahu, Sayang, ini tidak
seperti pertemuan yang lain, yang aku bebas berkicau meramu frasa-frasa indah. Lihatlah,
kini aku laksana lelaki
canggung yang tiada bisa merangkaikan kata-kata. Darah mengalir deras pada
pembuluh, jantung berdegup tak berirama, serta logika, kupastikan telah runtuh
entah mengapa. Aih, inilah gambaran lelaki yang tengah dilanda perasaan kasih.
Tak khayal, seperti bocah tanpa orang tua mendampingi.
***
“Aku pilihkan menu untukmu, sedang
kau, pilihkan menu untukku. Setuju?”
ujarmu, ketika katalog makanan tersaji di atas meja.
Aku
menganggukkan kepala. Namun, bukanlah perkara gampang untuk menentukan pilihan.
Aku takut kau tak suka dengan
makanan yang kupilih. Aku khawatir kau juga menelisik menu yang kuraih. Dan kau harus tahu, betapa bingungnya aku saat itu.
Diam, tak berkata, sambil membolak-balikkan halaman yang terlukis penuh selera.
Oh, pilihan kita akhirnya bertemu pada dua porsi makanan sedang, satu untukmu,
yang lain untukku.
***
Rembulan menyapa, tamu
berlalu lalang berganti pilihan. Kami masih duduk termangu. Saling mengagumi.
Saling memerhati. Oh, barangkali kami juga saling menebar kasih.
Aku
bercerita tentang keluargaku yang penuh dengan haru. Dimulai dari masa kecil, pendidikan
pertama, sekolah lanjut, ketika Papa pergi menemui Tuhan dengan segera, sampai
akhirnya tiba di kursi rotan ini. Aih, kau menyaksi apa yang aku rangkai dengan
rapi.
"Oh,
kau punya pengalaman yang melimpah ruah. Menakjubkan," katamu, memberi ganjil komentar.
"Maka,
maukah kau menjadi salah satu dari rentetan pengalaman itu?" tanyaku,
menjengahkan.
Kemudian,
kami menggurat kisah sehari-hari. Tentang kegiatan selama di kampus gajah,
aktivitas di luar sana,
serta berbagai aksi yang tergurat atas kehendak-Nya. Ternyata, pelangi kalah jauh berwarna, bila dibandingkan
dengan asam-manis hidup manusia.
***
Makanan
kami datang. Meludahkan rasa untuk siap menyantap sesegera. Tetapi, bukanlah
piring-piring berisi yang menjadi penantian kami. Masih ada yang lebih penting
daripada memulaskan sepasang lambung kosong. Dan bait-bait kalimatku kembali
menyandera selera makanmu.
"Bagaimana
dengan jodoh? Adakah dia satu atau berjumlah sebanyak ragu?"
"Tidak
tahu. Mungkin jodoh itu hanya satu," ujarmu.
Oh,
Sayang, kuterangkan padamu
tentang pelajaran mengenai apa yang disebut jodoh. Dalam
keyakinan kita, Tuhan telah mengatur hukum mengenai jodoh.
"Kau
tahu, wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik, dan sebaliknya?"
aku melempar tanya.
Kau
mengangguk,
"Apa maksudnya?"
Ya,
seperti dalam kalimat itu, berpesan jikalau jodoh ialah banyak dan
bertingkat-tingkat. Pada satu tingkatan, ada satu jodoh yang sejalan denganmu.
Kelak, jodoh itu tiada menunggumu untuk ditemukan. Dan kau, harus setia
berusaha menemukan.
Boleh
jadi, seseorang yang sekarang kau takzimkan mengisi hidupmu adalah jodoh.
Namun, ketika kau tiada menghormatinya, tanpa permisi, jodoh itu bisa saja
melambaikan tangan untuk pergi. Karna, Tuhan akan sediakan posisi lain yang
lebih pantas untuknya, atau juga kesendirian yang lebih mulia. Oh, bukankah
kekasih baik yang tidak dirawat, akan menjadi mantan kekasih yang akan dimuliakan
oleh orang lain? Maka, aku berjanji untuk merawatmu, sebagaimana kau, yang
bersedia merawatku.
***
"Bagaimana jikalau kita
salah memilih seorang
jodoh?" kau menakdirkan ragu.
Oh,
jodoh bukanlah tercipta dan lantas kita memilihnya dengan sesuka. Tetapi, jodoh
ialah bagaimana kau membuat dan menjaganya. Sebab, tidakkah beberapa orang yang pernah mengaku berjodoh
tapi akhirnya juga bisa berpisah? Dan mereka dulu tiada menjaga satu sama lain
akan jodohnya?
Mungkin
benar kalimat Tuhan tentang membenci dan mencintai. Oh, janganlah kau membenci
seseorang dengan amat benci, karna suatu saat kau akan mencintainya. Dan
janganlah kau mencintai seseorang dengan amat cinta, karna suatu ketika kau
akan sangat membencinya. Maka, harapan kami satu: menjalani hari seperti biasanya, membalas senyum tanpa mengharapkan
sempurna, serta menghadapi keras dunia dengan tatapan terang, bersama.
Ketika
aku bertanya, dan kau menjawab:
menerima. Lembar hari, sungguh terasa laksana dibuka sedari awal lagi.
Inilah
kisah kami pada penghujung hari. Kalau kalian masih bertanya-tanya, silakan
dengar langsung kata-kata yang keluar dari kursi rotan tempat kami bercerita. Untuk
kekasihku, Anis, dari lelakimu, Mahatma.
Oh, percayalah, ada tangan-tangan yang sengaja mempertemukan
kami. Siapa dia? Tuhan kami.
(IPM)
Bandung,
Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini