Hidup
ini laksana panggung dunia yang penuh dengan lakon-lakon pemberani. Maka, yang
pengecut silakan mundur, yang penakut silakan kabur.
Aku bercerita tentang hari yang kita
rajut bersama di akhir Februari. Hari yang cerah, ketika mentari tepat pada sumbu
ordinatnya, kita bersua. Membawa sisa-sisa air yang masih menempel pada wajah.
Air itu, sungguh akan membekaskan rona hingga kian menyilaukan, mendinginkan
yang datang, serta mendekatkan yang akan berlalu lalang. Konon, akan tiba
waktunya air itu menjelma menjadi cahaya pada gelap gulita yang sejati, saat
mentari telah digulung rapi, dan pekat meraib sahabat sejati.
Kotak-kotak putih biru, bercampur
merah hati, berselimut tudung coklat susu, itulah serampai warna untuk topeng
kami. Indah, dengan paduan canda serta senyum yang selalu tertoreh mesra. Oh,
seperti inikah sepasang insan yang sedang dibuahi sebongkah perasaan? Adakah
setiap kasih akan tetap mewangi selaksana ini?
Jawabnya satu, tergantung pada kita.
Sebab, telah terangkai indah dalam hukum tentang cinta: wanita yang baik, hanya
untuk lelaki yang baik dan sebaliknya. Kemudian soal jodoh, ialah bagaimana
caramu membangunnya. Dan Tuhan, sebagaimana menyetujui, ketika umat-Nya telah
berusaha menyanggupi.
Darimu hari ini, aku mengerti tentang
berantai hal baru. Tentang mekanisme cinta menurut dosenmu, yang kau kenalkan
padaku tokoh bernama Feromon dan Femero Nasal Gland. Konon, pada sebuah
kisah, Feromon ialah hormon yang ada
pada setiap manusia, tetapi lebih banyak dimiliki wanita. Dan Feromon akan menguap ketika terkena
cahaya mentari. Satu Feromon hanya
akan cocok untuk satu Feromon yang
lain. Dan akibat Feromon, seseorang
bisa tertarik pada lawan jenisnya. Perhatikan saja, apa yang berubah dari
seorang gadis saat Feromon tamu
bersambang pada Femero Nasal Gland?
Barangkali, dia akan lebih merah pipinya, lebih mekar lesung pipinya, atau juga
lebih bersolek dibandingkan hari-hari sebelumnya. Oh, itulah Feromon-ku, semoga teruntuk Feromon-mu.
Juga pada hari ini, aku menjadikan
diriku sebagai pemimpinmu di dua waktu: sepenggalah petang dan seujung pelupuk
malam. Ya, seperti itulah kodrat seorang lelaki, ketika diminta menjadi
pengedepan di antara yang lain, maka dia menawarkan diri. Dan, bukankah
sekarang ialah waktu yang tepat untuk latihan? Saat datang masanya, semoga aku
lebih lihai memapahmu menuju jalan-Nya.
Kemudian, es krim coklat-merah muda,
serta ungu-kekuningan menguatkan kata untuk saling mengucap bicara. Kami hanya
duduk, bersebelahan, tetapi pikiran kami telah lari menjauhi segenap angan.
Terbang. Menuju relung-relung sepi yang siap dirajut berdua diri. Lantas, kuberi
tahu kau bagaimana menciptakan sebuah pertemuan yang tiada melahirkan secarik bosan.
Kuajarkan kau tentang bagaimana kesetiaan berlandaskan kepercayaan. Serta kau
pahami, aku selalu mengiangkan kalimat ini: Kekasih
baik yang tidak dirawat, akan menjadi mantan kekasih yang dirawat orang lain.
Maka, aku merawatmu sebagaimana kau merawatku.
Di ujung diari ini, aku ingin mengucap
beberapa kalimat syahdu, perdengarlah: Ketika nanti aku berubah, tolong
ingatkan aku akan hari senja pada 18 Februari silam. Ketika aku merutuk sedih
dengan problematika dunia, tolong lukiskan senyum dari lesungmu pada wajahku
yang lusuh tak bertenaga. Ketika aku menimang bimbang pada sebuah keputusan, tolong
tuntun aku dengan meremehkan kepastian. Ketika aku melupakan segala, tolong
papah aku mengeja kata-kata cinta. Dan ketika aku tahu kaulah kekasihku, tolong
bantu aku menggamitmu, membawa lekas bayangmu, menjadikannya satu, dalam
ribahan kasih, serta bermandikan lentera pelangi.
Dengan berani, kucipta larik ini. Dariku,
teruntuk kamu: Anisku.
(IPM)
Bandung,
28 Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini