KAU tak pernah membujukku untuk
bercerita. Tidak ada pula isyarat darimu untuk berbagi kisah kepada yang lain.
Kau adalah kau, gadis periang yang senantiasa tersenyum. Entahlah, aku tak
seberapa mengerti apa arti dari tipis senyummu. Adakah kebahagiaan di sana?
Adakah kesenangan yang megah? Atau juga sebuah kosmetik untuk menutupi segala
luka? Ah, aku tak sebaiknya terus menerka-nerka.
Ya. Aku dahulu tak sebegitu
mengenalmu. Bahkan, kau hanya kusapa ketika lewat, atau juga saat bergelayut
dengan yang lain. Namamu, berartikan mutiara jiwa yang sempurna. Kurasa, ibumu,
atau juga nenekmu, atau sesiapa yang menaksir asma itu tak menguakkan kesalahan
sedikit pun.
Lalu, benarkah nama ialah penggambar
diri seseorang? Tidak, menurutku. Barangkali, nama hanyalah ungkapan dalam rupa
harapan dari seorang ibu untuk anaknya kelak. Dengan nama itu, mungkin seorang
putra bisa menjadi seorang pria, dan seorang putri boleh jadi menjelma bidadari
yang rupawan. Tiada yang tahu, itulah esensi namamu.
***
KALIAN tahu, dahulu aku pernah
berkunjung ke suatu tempat yang jauh dari keramaian. Di sana, lembah menyapa
tiap pagi. Aliran sungai deras menyeruakkan ketenangan ragawi. Rerumputan yang
hijau, bergema mendermakan embun untuk kaki basah yang bersiap menuju sawah. Dan
selaksa pada dongeng, tinggallah sebuah keluarga hangat di tengah sepi yang
memekat. Aku masih mengingat bagaimana riuhnya suasana rumah ketika makan malam
dihidangkan.
“Ibu, piring Ujang mana? Udah lapar,
Bu.”
“Iya, ini piringmu. Ayo, lauknya
dibagi rata ya dengan adik-adikmu,” kata ibu.
Oh, dinginnya hawa desa tak sanggup
mengoyak suhu ruangan kala keluarga itu bercengkrama. Kalau dicermati benar, banyak
anggota keluarga di desa ini yang masih berumur belasan atau juga dua puluhan. Lelaki-perempuan
dengan wajah khas peluh keringat. Namun, ada fenomena yang berbeda. Tiada
pemuda yang bercita untuk mengubah takdir. Pemuda di sana hanya akan bermimpi
menjadi petani, atau juga tukang kebun dengan istri yang berasal dari sanak
tetangganya. Sementara wanitanya, tak lain juga menginginkan suami dari profesi
tersebut. Dan asal kalian cerna, mereka rata-rata menikah pada usia yang
relatif sangat muda, belasan, sudah tergerak menimang momongan. Mereka percaya
perihal kalimat kolot: banyak anak banyak rezeki. Namun mereka lupa, rezeki
tidak berada pada berapa jumlah anak-anak mereka. Sungguh, rezeki ada untuk para
orang tua yang keras bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan hidup anaknya.
Sayang, kalian tidak tahu, dan mungkin paradigma itu hanya akan menurun pada
anak-anakmu.
“Lalu, apa yang ingin kau perbuat
untuk mereka?” tanyaku.
Aku ingin sekali mengubah semangat
mereka untuk berkebun menjadi sebuah semangat untuk belajar yang giat. Kelak
dengan ilmu, mereka akan lebih tahu bagaimana caranya hidup secara lebih benar.
Bukankah ilmu teruntukkan kepada seluruh manusia, tak peduli dia tinggal di
desa ataupun di kota? Lalu, mengapa mata-mata Tuhan hanya dapat melirik mereka dengan
sinis, tak peduli akan segala kesederhananaan yang pedih?
“Tapi, Tuhan pernah berjanji bahwa Dia
tiada mengubah nasib suatu kaum apabila tak ada kemauan mengubah dari kaum itu
sendiri,” pungkasku, kemudian sarapan kami datang bersama lapar yang menghias
pelan.
***
PADA sela makan, ada hal-hal dewasa
yang kau tumpahkan tanpa sengaja. Tak berbekas di meja, di piring, atau juga di
baju putih yang kau kenakan. Namun, kau tak tahu, jikalau alamku diam-diam
berdaya merekam apa yang kau bicarakan. Darimu kuperoleh perihal bagaimana
seorang wanita yang sejati.
Ya, barangkali memang benar jikalau
tugas wanita ialah bukan mencari pria terhebat, tapi memposisikan diri untuk
ditemukan oleh pria-pria hebat. Kau pun amat mengerti analogi tersebut.
Kuterka, kau jauh lebih paham dariku kini. Dan seperti obrolan pagi hari yang lain,
kau kembali berkisah tentang keluargamu serta fakta golongan darah yang susah
aku mempercayainya.
Keluargamu, terdiri dari
malaikat-malaikat yang gemar bernasihat. Ibumu, senantiasa memberi berbagai
resep hidup untukmu. Mungkin saja, keanggunanmu ialah temurun dari perilaku
ibumu yang sempurna. Aih, kali ini aku tak menerka, hanya mengungkapkan semua.
Darimu, kupahami jikalau wanita memiliki sisi lain yang tak dimengerti
siapapun, juga oleh dirinya sendiri. Dia bebas, praktis, melangkah menuruti
segala intuisi. Dan wanita, hanyalah akan mencari pria yang membebaskan dirinya
selayaknya dirinya.
Kemudian, tentang fakta golongan
darah, aku tak banyak berkomentar. Cukup mendengar. Karena, tak adil rasanya
jikalau berjuta manusia hanya diklasifikasi berdasar empat golongan saja.
Lantas, bagaimana dengan irisan antara keempat golongan tadi? Adakah yang
disebut unik atau juga otentik tak terdapat dalam fakta tersebut? Lalu,
nantinya timbul pasangan yang cocok antara golongan satu dengan yang lain. Sebegitu
mudahkah Tuhan mencipta relasi? Akankah kalian telah berpikir sejalan dengan
pola pikir Tuhan? Kurasa, kalian harus lebih belajar. Oh, ini hanya sentimentil
penulis, tak perlu dimasukkan dalam hati.
***
SEBENARNYA, aku ingin berkisah lebih
panjang lagi. Namun, cukuplah pengakhiran menjadi patut disematkan di sini.
Dengarlah, ini hanya sebuah kejujuran. Sebab kejujuran ialah laksana rias wajah
yang menor, tak terbayang jikalau harus disisipkan dengan rayuan lagi. Dan
kesederhanaan bagi seorang pria katamu, atau juga kata ibumu, sangatlah
berkesan lama dalam laman memoriku.
Barangkali, jikalau kau ingin mencari
inspirasi, tak perlu bergelut untuk aktif mengikuti seminar-seminar mahal.
Cukuplah bercengkrama dengan teman-teman terdekatmu. Mungkin saja, di balik
senyumnya ada cerita yang menggetarkan jiwa, mungkin saja, di sanjung bibirnya
ada dongeng yang meninabobokan romansa, atau juga di balik tangisnya barangkali
tersimpan kedewasaan hakiki milik seorang wanita. Ini ceritamu, maaf,
kukisahkan semua tanpa meminta izin terlebih dahulu. Sebagai apresisasi,
kutulis lengkap judulnya dengan namamu: Mutiara
Jiwa yang Sempurna. Oh, semoga kau berkenan membacanya.
(IPM)
Bandung,
Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini