Janjimu pada siang semakin luruh dan
bertambah usang. Seperti hendak teringkari, sebab bayangmu telah beralih, ke
lain sisi, di mana aku tak sanggup menatapmu sendiri. Sedih. Pedih. Selaksa air
cuka yang disiram pada basahnya luka. Kelak, matamu akan melambaikan ungkapan
pisah yang teragung. Yang mewujud sesiapa untuk ikut sedalam sunyi. Ini semua
tak lain untuk diriku, yang sedari tadi menunggu.
Kau
tahu, Cinta, berapa jengkal dalam waktu aku menantimu?
Adakah kesepian ini sanggup terhapus oleh kehadiranmu nanti?
Oh, barangkali sejak musim hujan tahun
lalu, aku masih terpatung di sini. Di sisi jalan yang memisahkan arah ke rumahmu
dengan rumahku. Di sisi yang memuntahkan memoria ketika dalam derasnya hujan
kita saling berpayung dan memeluk pergelangan.
Aih, harusnya aku tidak bercerita
tentang bagaimana kita mengusir basah dengan lamat-lamat saling bertatap. Tak
pula berkisah akan dekapmu yang meninggikan suhu basuh dalam tubuh. Atau tiada
seharusnya aku berbagi momen paling menyentuh saat kau bisikan kata mersa pada
daun telingaku yang menganga. Ya, itulah lukisan elegi yang sempurna, seperti
sepasang merpati yang tiada bisa terbang lagi berdua. Dan tak salah, jikalau
saat itu aku mengutusmu menjadi senja paling merah dalam hidupku. Yang akan
kumiliki seutuhnya dalam hitungan hari.
Namun, kau, dengan rok bercorak
bunga-bunga Edelweis terakhirmu, mengucap selamat tinggal sebelum pernyataan
dariku sempat tersampaikan. Kau berlari, memegangi topi lebar yang kau kenakan
untuk mengikiskan silau mentari. Beberapa detik berlalu, kau lenyap tanpa
sebutir lagi air matamu.
Penantian ini pun dimulai. Sehari, dua
hari, seminggu, dua minggu, sebulan, dan berlanjut hingga pergantian musim
kemarau, lalu penghujan lagi. Dalam asa, aku percaya, jikalau kau hanya
mengujiku akan makna kesetiaan cinta. Maka, kuteruskan saja diam serta
menduduki singgasana penantian yang panjang ini sendirian.
Kau tahu, Cinta, selama menunggumu,
ada berbagai wanita lain yang mendekatiku untuk menawarkan kenyamanan hubungan.
Ada yang memintaku menemaninya ke plaza kota, ada yang mengajak menghabiskan
malam berdua, serta ada pula yang nekat melarikanku dengan paksa. Tapi, aku
lelaki dengan segala perkataanku. Jika cinta, aku akan cinta. Seperti saat ini,
masih sabar menantimu di sisi jalan yang memisahkan arah ke rumahmu dengan
rumahku.
Sejujurnya, Cinta, raga ini tak lelah.
Aku tiada keberatan menunggumu kembali bersambang. Namun hati, bagaimana yang
dirasa oleh hati? Adakah dia kuat memutuskan tekad untuk setia menanti? Ataukah
dia cukupkan kesia-siaan ini menjadi kelam album memori? Oh, aku tak sanggup
mengisaknya.
Entahlah, semakin hari, semakin aku
merasa ada hal yang salah dalam kesetiaan yang tak berarti. Aku, bagaikan
seorang lelaki yang jatuh cinta pada langit malam, yang ingin memeluk Dewi
Bulan, atau pula yang berhasrat untuk mempersunting Praweswari Bintang. Tak
mungkin, barangkali akal sehatku mulai berpaling.
Dalam sepi, hatiku berbisik pada
nurani: Sebelum memutuskan untuk menunggu,
harusnya aku terlebih dahulu memastikan, bahwa kau akan benar-benar datang pada
suatu waktu, membawa utuh janjimu, yang bersedia hidup selamanya, bersamaku...
(IPM)
Bandung,
Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini