HAWA dingin berselimut mesra tak
terpisah. Seakan, mereka tiada mau memagut satu sama lain tanpa kuasa. Kelam,
atau juga hitam, terlukis indah dalam singgasana Tuhan di luar sana.
Bermandikan kerlip bintang, torehan cahaya rembulan, serta rintik kembang api
tengah malam.
Kau terdiam, bimbang. Bahkan, kau
masih menerka, kiranya terdapat hal istimewa seperti apa, yang membisingkan
telinga di tengah senyapnya malam. Malam bagimu, ialah anugerah teragung selain
perkara hidup, mencintai, dan dicintai. Tak seperti malam-malam sebelumnya, di
mana kau bebas merangkai asa dengan gelapnya. Malam ini, sungguhlah sangat
berbeda.
“Kembang api? Mengapa mereka tercipta
di malam ini?” desahmu.
Oh, Anis, adakah kau lupa jikalau
perhitungan tahun menorehkan banyak versi? Kelak, di setiap keyakinan memiliki
kalkulasi sendiri-sendiri. Masehi, yang berpegang teguh pada matahari. Hijriah,
dengan melandaskan angka pada rembulan yang beredar sesuai kehendak-Nya. Atau
juga malam ini, penambahan angka yang disebabkan oleh akar-akar pemikiran
manusia yang berbeda.
“Berbeda itu indah, bukan?” ujarku,
sementara kau, masih merenungi malammu yang terusik gemuruh.
***
ENTAHLAH, darimu aku belajar tentang
beberapa hal. Perihal waktu tidurmu yang sanggup kau rapel menjadi akumulasi.
Atau kisahmu, yang enggan menghadiahkan pejam karena takut menyesal tidak
memanfaatkan. Anis, kau selalu bermata di setiap malam.
Sebenarnya, aku tak tahu apa saja yang
kau kerjakan. Mungkinkah kau berpaku pada sesal terdahulu sehingga tiada
tertidur kelam? Akankah kau terlalu menyukai malam, serta sesiapa yang hadir
dan berbincang tentang segala kejadian? Atau, adakah kau begitu sibuk,
sampai-sampai tak membuahkan waktu untuk terlentang?
“Ah, tidak. Sibuk ialah keadaan ketika
kau tak memiliki waktu makan dan tidur. Namun, selagi kau mempunyai salah satu
di antaranya, barangkali predikat itu tak layak kau sandang sempurna,” katamu
panjang, ketika salah satu temanmu memberikan petikan.
Ya, boleh jadi kau memang amat, atau
mungkin sangat mencintai malam. Ujarmu, pada malam, kau menemukan satu sisi
jiwamu yang lain. Jiwa yang ingin merekah tepat pada waktunya. Hingga ketika
kau sedang menunggu rekahan itu, kau mengisi waktu dengan bergelut pada
berbagai rutinitas. Ada kalanya kau menuliskan bermacam ilmu yang kau peroleh
ketika mempelajari kehidupan, menjalin kontak dengan berbagai fenomena sosial,
atau juga mencipta karakter, yang didesiskan tiada banyak berdiri tegak pada
tahun-tahun pekak.
Semuanya positif. Seakan tiada celah
bagi kesedihan mengisi lembar harimu. Padahal, aku tahu, ketika seseorang sedang
berada pada rentang usiamu, ada banyak dari mereka yang bimbang mengakhirkan
masa depan. Lantas, mereka hanya terdiam menanti takdir mengusiknya. Oh,
bukankah takdir Tuhan itu dicipta berdasarkan keinginan manusia? Ingatkah
mereka, saat-saat Tuhan berjanji bahwasanya akan mengubah takdir ketika manusia
berani mengambil jalan berusaha? Namun, mereka tiada mengerti. Dan kau,
kusanjung lebih paham dariku, yang bercerita tentangmu.
***
CANTIKMU, katamu, adalah ketika paras
selaras dengan hati serta caramu membawa diri. Oh, itukah kalimat terindah yang
pernah tergurat dalam hidupmu? Selayaknya kata penyair terdahulu, bahwasanya
tugas wanita bukanlah mencari pria terhebat, tetapi bagaimana memposisikan diri
agar ditemukan oleh pria-pria hebat. Cobalah kau pahami, rasanya begitu mirip
kalimat itu bersajak dengan kalimatmu. Kutengok, kau berbeda dengan yang lain.
Aku masih mencerna larik darimu
tentang pernyataanmu yang diterka orang sebagai pribadi terbaik. Namun, kau
berkesah, jikalau dirimu tiadalah sebaik seperti yang kalian terka. Kau
bersyukur, ketika Tuhan masih setia menutupi segala kurang dengan topeng yang
rupawan. Tetapi, tak usahlah kau ragu akan baik atau tidaknya dirimu. Bukankah
semua orang di dunia kini sedang memakai
topeng terbaiknya? Terlepas apakah wajah tiruan itu mencerminkan
pribadinya atau bukan? Jawabnya retoris, yang jelas, manusia menyukai hal-hal
terindah nun manis.
***
MALAM, memanglah waktu terindah bagi
beberapa golongan manusia saja. Saat malam, boleh jadi beberapa dari kalian
sedang masyuk bergumul dengan kerutan sprei yang dingin. Yang menghadiahkan
kalian bunga tidur tak nyata. Dan ketika kalian terjaga, banyak dari bagian
episode mimpi yang terlupa. Barangkali itu mimpi terindah kalian, yang sangat
diharap berbuah kenyataan.
Sedangkan golongan yang lain, ada
segelintir manusia yang menengadah menyambut wajah Tuhannya. Mereka usap rona
itu dengan lembut, seraya bersaksi dan berjanji ini-itu demi keberkahan hidup.
Oh, sungguh apa yang membuat mereka berlaku? Adakah hanya surga yang ingin
mereka rengkuh? Ucapnya ketidakpastian. Aih, setiap insan hanya takluk oleh
ketidakpastian. Hingga semua terjawab, barangkali mereka telah menikmati hasil
yang mereka dapat.
Maka, kuingatkan engkau sebelum
lengah, “Sudah saatnya kita mengetuk pintu-pintu Tuhan. Waktunya telah tiba,
segeralah.”
Sungguh, kau langsung beranjak dari
tempatmu. Mengambil percikan air yang mencahayakan lekuk-lekukmu. Disapunya
wajah, selaksa ada sinar yang silau di sana. Dibilasnya tangan, semampu halus
enggan bersambang. Dan dibasuhnya kaki, yang menghadiahkan langkah ketika kau
ingin menggapai mimpi. Kau mulai bersedekap, dan salammu menyapa sesiapa yang
kasat.
Sembari menanti pagi, tanganmu yang
lentik menengadah menyuarakan berantai doa. Pelan. Perlahan. Khas sekali bak
ratu yang tengah menghapus elegi. Dari sini, bau surgamu tercium wangi.
***
“ANIS, sudah pagi. Kau belum mau
tertidur?” sesapku, yang menanyakan posisimu di tengah kelabu malam.
Kau masih membalas percakapan itu.
Kusimpulkan, kau masih setia bermata, mengisi malammu dengan berbagai
peristiwa. Aku mengenalmu tidak sebegitu lama, hanya sepenggalah masa.
Tentangmu, aku juga tak mengerti tentang segala. Bahkan, aku tak tahu-menahu
akan apa yang kau suka, serta apa yang kau benci secara sempurna. Namun, tidak
ada dalam anganku untuk ragu, ketika kujanjikan melukismu dalam helai kertas
yang berisikan metafora hidupmu.
“Aih, kau sangat percaya diri,”
pungkasmu, menilai lagakku yang sepertinya benar begitu.
Tapi maaf, sungguh, aku ialah lelaki
dengan segala perkataanku. Ketika aku berjanji, akan segera kutepati, sebelum pula
kau menagih. Seperti cerita yang lain, kadang kala sengaja tercipta indah,
tetapi bertahan pada relung yang tiada paripurna. Namun, dalam resah ini, harapku
satu: Anis, sudihkah kau mengeja lagi kisah
ini di lain waktu?
(IPM)
Bandung,
Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini