Pernahkah kau terlalu
mencintai seseorang, bahkan ketika orang tersebut tak pernah memalingkan seraut
wajahnya padamu? Dia, sungguh selalu maju ke lain sisimu, berharap kau tak
memerhatikannya. Tetapi, bayangmu berbeda pendapat, ia lekat pada setiap jengkal
langkahnya yang pekat. Oh, inikah yang disebut orang sebagai rasa sejati? Yang
mana hanya memberi, tanpa mengharapnya segalanya bersambang kembali.
Pages
Pada hari ini, ada lesung yang
melengkung tak seperti biasa. Kau tahu, apa makna di balik bertambahnya usia?
Di sana, kau akan kehilangan satu-demi-satu hari yang kau punya. Kau dermakan
ia, kau gadai makna terpekatmu bersama waktu. Lantas apa itu waktu? Adakah ia
hanya datang untuk melukis senyum yang tak paripurna? Katamu, waktu bukanlah kosmetik
kecantikan, melainkan bagaimana caramu memberi harga pada kehidupan. Aku
terhenyak, masih memikirkan kalimat teragungmu, yang membuatmu membisu pada
hari terbaikmu.
Hari ini, ada dua wajah yang berbeda
terpampang pada bait-bait rona. Raut pertama bernama kebahagiaan, bersebab
telah menorehkan sebuah pencapaian. Raut ini pastinya akan menghadiahkan senyum
terindah kepada sesiapa yang bermata. Menyajikan sisi-sisi optimistis akan
mimpi, serta segala yang masih belum meraup imaji. Itulah kebahagiaan, berwarna
merah sebiru langit senja. Indah, tetapi hanya sementara waktu. Sebab tangis, akan
senantiasa melampai pada setiap penjuru.
Siapa yang menjamin segala akan berpaling? Terkadang, apa
yang kau ucap ialah benar yang kau harap. Kau pun menunggunya datang, membawa
serpihan masam akan sebuah kenangan. Kau mulai berkisah, tentang satu-demi-satu
kesah yang tak kunjung berubah warna. Tetap abu, ragamu pilu. Maka, tidakkah
semua itu salahmu, yang menghadirkan bayangnya untuk terus membelakangi kenang?
Kau terdiam. Kini rautmu jauh lebih pasi dari sekerat roti.
Lain kali, kau merutuki seluruh pengesahan. Tuhan, yang
katamu Maha Perencana, kau anggap sering salah mengakhirkan kisah. Oh, kau
sungguh naif, tiadakah kesalahan hanya bersumber dari kita, manusia? Lalu, kau
lebih memilih menjejakkan kaki pada beling-beling kaca. Kau cerna, merah
darahmu mengucur deras dari kasar telapaknya. Kau meringis, kelu, tetapi
terkaku berbincang, jikalau hatimu jauh lebih biru dibanding luka-luka itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)