Pernahkah kau terlalu
mencintai seseorang, bahkan ketika orang tersebut tak pernah memalingkan seraut
wajahnya padamu? Dia, sungguh selalu maju ke lain sisimu, berharap kau tak
memerhatikannya. Tetapi, bayangmu berbeda pendapat, ia lekat pada setiap jengkal
langkahnya yang pekat. Oh, inikah yang disebut orang sebagai rasa sejati? Yang
mana hanya memberi, tanpa mengharapnya segalanya bersambang kembali.
Aku melihatmu begitu
tergila-gila akannya. Seolah, tiada lagi Tuhan mampu mencipta bidadari lain sesempurna
dia. Aih, kurasa saat ini matamu sedang tertutupi oleh rasa terbodoh bernama
jatuh cinta. Mengapa kau menyebut itu
bodoh? Ya, bukankah lelaki terhebat pun akan terlihat bodoh ketika dia
jatuh cinta. Dia akan tak sadar bahwa telah kehilangan dirinya, terlagi melalaikan
intelektualnya yang agung. Bukan negatif, hanya kodrat manusia, yang sedang
terbuai oleh kata merah berasma cinta.
Kali lain, akan kuajak kau
ke Bali. Di sana, kau akan mengerti tentang apa itu petang. Sore terindah di
Kuta akan melupakan sosoknya yang lebam. Kau bisa sesekali menenggelamkan
ragamu pada ombaknya. Kau benamkan pula dia, serta bayangnya hingga dalam,
sampai menghilang.
Tetapi, aku sungguh kecewa
akanmu. Kau, justru memagut sebatang ranting yang rapuh. Kau arahkan ranting
itu pada pasir pantai yang masih basah. Pelan, kau tuliskan namanya panjang.
Sekejap detik, ombak menyambar asma orang terkasihmu itu hingga menguap. Tak
bersisa. Kau tahu, sebenarnya cinta itu hanyalah perasaan yang muncul karena
terbiasa, dan hilang pula karena terbiasa. Maka, adakah kau akan memulai membiasakan
diri untuk kehilangannya?
Terkadang, aku terkesan ikut
campur akan kisah yang kau jalankan sendiri. Tetapi, kau harus ingat, aku
hanyalah Tukang Cerita yang gemar mengupas kisah. Tak pernah dariku ingin
memudarkan rasamu akannya. Tak ada pula dalam rautku untuk mendekatkan harapmu
kepadanya. Kau hanya perlu menganggap aku 'titik', yang lekat di samping kertas
tanpa pernah mengubah perihal isinya. Oh, sudahkah kau paham tentang makna
guratan ini?
Lain waktu, akan kupaksa kau
memahami akan apa itu cinta. Entahlah, sejujurnya apa yang kau inginkan dari
mencintainya? Adakah keluasan pikirannya yang membuatmu mewujud gila? Adakah
raganya yang bagai kosmetik kecantikan di mana luntur bersama waktu sanggup
mengubahmu tak bermata? Atau, sungguhlah dia, yang telah mencuri hatimu dan serta
merta membuangnya jauh, sehingga kau susah payah mencari-carinya.
Aih, kau lelaki! Kau yang
menentukan apakah dia benar-benar harus kau perjuangkan. Bila cinta hanyalah
soal berpegangan tangan, maka seorang ayah lebih layak untuk mendapatkan. Dan bila
cinta hanya tentang hujaman kata-kata manis, maka seorang ibu lebih utuh untuk
menerima. Oh, bukankah cinta lebih jauh maknanya daripada itu semua? Yang mampu
membangunkanmu ketika kau terpejam. Yang sanggup meninabobokanmu di tengah
terik yang terang. Atau, yang kau rela kehilangan separuh dirimu hanya teruntuk
semu bayangnya. Tidak wajar, bukan? Tapi itulah cinta, yang manusia rela
mengais-ngaisnya.
Di akhir roman ini, sungguh
aku tiada memintamu untuk memilih sesiapa. Sebab, yang menjalani hidupmu ialah
kau. Bukan aku, atau mereka yang mewarnaimu dengan sesuka. Namun, ketika nanti
kau lelah mengejar bayangnya, cobalah kau perhatikan sekelilingmu. Lihatlah dia
yang lain dengan mata hatimu yang sejati. Tengok rautnya yang lekat-lekat dalam
diam memberimu seberkas perhatian. Kau tahu, terkadang orang yang mencintaimu
ialah dia yang tak pernah menyatakan cinta padamu. Dialah aku, wanita yang berpura baik-baik saja karnamu...
(IPM)
Bandung, Maret 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini