Siapa yang menjamin segala akan berpaling? Terkadang, apa
yang kau ucap ialah benar yang kau harap. Kau pun menunggunya datang, membawa
serpihan masam akan sebuah kenangan. Kau mulai berkisah, tentang satu-demi-satu
kesah yang tak kunjung berubah warna. Tetap abu, ragamu pilu. Maka, tidakkah
semua itu salahmu, yang menghadirkan bayangnya untuk terus membelakangi kenang?
Kau terdiam. Kini rautmu jauh lebih pasi dari sekerat roti.
Lain kali, kau merutuki seluruh pengesahan. Tuhan, yang
katamu Maha Perencana, kau anggap sering salah mengakhirkan kisah. Oh, kau
sungguh naif, tiadakah kesalahan hanya bersumber dari kita, manusia? Lalu, kau
lebih memilih menjejakkan kaki pada beling-beling kaca. Kau cerna, merah
darahmu mengucur deras dari kasar telapaknya. Kau meringis, kelu, tetapi
terkaku berbincang, jikalau hatimu jauh lebih biru dibanding luka-luka itu.
Ah, aku rasa ada yang salah, dari pernikahan dengan
lelaki yang gemar membentak ini. Dia, yang katamu paling pemberani di antara yang
lain, lebih suka menarikmu ke ujung ruangan, untuk menghadiahkan noda-noda
sayatan. Dia, yang dalam lamunmu, pernah menghujamkan garpu-garpu tajam pada
bilik perutmu dengan tawa. Dan dia, ya, benar dia, tepat di saat hujan menetes
deras, menjadikan matamu terakhir kali menatap sinar dunia. Dengan jemarinya,
kau meraup udara terakhir yang akan kau kenang sebagai sesap. Kau lenyap.
Sungguh bukan lelakimu, jikalau marahnya tiada sempurna.
Beralibi cemburu, lantas dia mencuri nyawamu dari malaikat-malaikat penjaga.
Dia kantongi jiwa putih itu dalam kaus kakinya yang lusuh. Dicabiknya sisa
ragamu menjadi berantai potongan. Dengan pisau dapur, dengan arit tak tajam,
serta dengan gairah, yang merah meratapi cinta berbau amis darah.
Dia, lantas menampung kesedihanmu pada karung-karung goni
tak bermotif. Jemarimu berpeluk pada kaki. Kepalamu, tiada sebundar dulu lagi.
Hidungmu, aku rasa tak akan sudih mencium aromanya, yang pedih ketika tertawa
menyungging rasa. Dia angkut potongan ragamu dengan kereta kencana, dia
sebarkan pada jalanan lurus yang tak pernah diam beribu meter ke depan.
"Istriku, memang menyusahkan saja..." katanya,
sembari menebar benihmu pada aspal abu yang merah.
Hujan turun deras, mengaburkan pandang akan lekukmu yang
terbaring di sisi-sisi jalan. Kini, lelakimu itu sedang masyuk melucuti raga
wanita lain yang katanya lebih becus darimu. Dia, hanya mengharap kepala
kecilnya lahir, tetapi justru sibuk memautkan rahim. Aih, katanya, Tuhan tak
mungkin tahu perbuatannya. Tuhan menutup mata.
Lihatlah, hari-harinya kini tak lain sebagai pesakitan
yang tak pernah merasa kesakitan. Dia, sungguh tak pernah menyesali
perbuatannya. Dia, takkan pernah sadar jikalau istrinya telah dicabik dalam
resah. Dan dia, tiada pernah lagi menghirup udara bebas dari balik jeruji-jeruji
berkarat. Ketika aku bercerita padamu tentangnya, ketahuilah, ragaku pelan-pelan
ditemukan tercecer pada garis tepi tol ibukota.
(IPM)
Bandung, Maret 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini