Ribuan kilo jalan yang kautempuh, lewati rintangan
untuk aku anakmu...
Ibuku sayang, masih terus berjalan, walau tapak kaki,
penuh darah, penuh nanah...
Cukupkah larik tersebut
menggambarkan seluruh resah yang pernah diretas seorang Ibu? Pernahkah Kau
membayangkan menjadi dirinya, yang rela tak digaji untuk mengurus
manusia-manusia kecil tak berakal yang nakal?
Manusia itu bernama Kau,
yang tumbuh sedari kecil menggamit kasih sayangnya. Kelak, ketika Kau berubah
menjadi remaja, mewujud dewasa, Kau pun melupa segala peristiwa. Sebelum Kau
terenyak tangis, kuajak Kau mencari album biru berlusuh debu di sudut-sudut
almari kamarmu.
Apakah Kau telah
menggenggamnya? Apakah butir debu tertoreh di sana?
Coba Kau usap laman awalnya
yang perih, yang membisikkan padamu akan seorang bidadari layu bernama Ibu. Mengapa layu? Sebab, Kau tak pernah
menyiraminya, hanya ia, dengan segala doa yang membungkusmu hingga kian
terjaga. Kau tahu, Ibumulah yang paling dekat posisinya kepada Tuhan, bukan
Kau. Dan Tuhan, menakzimkan telapak kakinya adalah surga.
Apabila Kau tak mengerti
tentang apa itu surga, tanyakan pada guru di Sekolah Dasarmu, Sekolah
Menengahmu, Institusi Pendidikanmu, atau juga dirimu sendiri. Dalam bayangmu,
surga ialah putih cemerlang dengan dipan-dipan yang bermandikan kenikmatan.
Pada setiap tepi sungainya, ada rasa yang menghilangkan dahaga. Serta Kau juga
harus memahami, salah satu tiket ke sana adalah melalui pemuliaanmu akannya,
Ibumu, yang Kau lupakan kala senang, dan Kau tujukan kala sedih menguat pelan. Oh, inikah calon penghuni surga?
Dan barangkali, melalui
album kenangan tadi, Kau bisa mengartikan apa itu kasih serta apa itu elegi. Kala Kau kecil dulu, adakah yang Kau mau tak
pernah dikabulkannya sesegera?
Meski tubuhnya harus sakit
menahan taklid, walau matanya harus merah menahan pejam, atau mau-tak-mau dia
harus menemanimu di sepanjang waktu. Oh, adakah Kau selalu membuatnya tertawa?
Apakah malah lebih sering Kau menghujamkan panah hingga ia menimang duka?
Cobalah tanyakan pada lubukmu, kelak, Kau tiada pernah tahu bagaimana Ibu
senantiasa menjagamu.
Suatu ketika Kau beranjak
dewasa, melalui masa pubertas serta remaja. Kau pun mulai memperhatikan keadaan
lawan jenismu. Kau singsingkan lengan-lengan baju untuk menariknya, Kau
julurkan lekat-lekat pandangan ke arahnya, hingga perhatianmu akannya menjadi
sempurna. Lalu, berantai waktu Kau habiskan bersama kekasih serta
teman-temanmu. Tak pernah Kau pikirkan ia di pelupuk mata. Kau terka, barang siapakah
yang menunggumu pulang untuk membukakan pintu? Adakah dia adalah Ayahmu?
Ataukah Ibumu yang rela bermata lebih lama?
Juga tentang perkuliahanmu,
atau pula pendidikanmu, yang menyegerakan untuk itu adalah Ibumu. Kau, tinggal
menjalani. Kebutuhan tercukupi, perhatian terlengkapi, tetapi, pernahkah
terpikir dalam benakmu untuk menyapanya di setiap pagi? Kau cukup memberikan
ucapan salam, atau juga kalimat tipis bernada kasih sayang. Itu pun jikalau Kau
bersedia, setidaknya menyiapkan topeng yang seakan-akan Kau peduli akannya.
Kau picik, bukan? Kepada Ibumu, Kau berpura-pura.
Pada hari yang lain, Ibumu
sedang sempurna dalam kekhawatiran. Ponsel yang dia titipkan padamu bukanlah
bertujuan apa-apa selain bertukar kabar yang lancar. Lalu, Kau menggunakannya
untuk kebutuhan lain, yang mendosakan sesal pada benak dirinya. Kau tak bisa
dihubungi, Ibumu tak pantas berdiam diri.
Kemudian, ketika Kau
datang, Ibumu langsung memarahimu, mendendangkan kata-kata bernada tinggi
luapan makna khawatir. Kau yang tiada mengerti, malah ikut menghardiknya.
Apakah Kau sebegitu bodohnya, jikalau kata-kata itu yang nantinya akan Kau
rindukan ketika Ibumu telah tiada? Dan mungkin, Kau hanya akan terpenuhi sesal,
tanpa dia yang menghela kesal.
Masih tentang kasih
sayangnya, tak pantas jikalau Kau menduakannya untuk seseorang lain yang Kau
anggap lebih mulia. Jawab, Kau! Siapakah
itu? Ah, Kau hanya terdiam. Tak berani menampakkan sungutnya yang tajam.
Sungguh, tiada yang lebih jernih dari matanya yang menerawang kesedihanmu, pundaknya
yang Kau tenggelamkan amarahmu pada dunia, serta bibirnya yang menghadiahkanmu
jalan-jalan lurus menuju cahaya.
Aih, apakah yang membuatmu rela menyiakannya?
Suatu saat, Kau berhasil
menaklukkan dunia. Hartamu berlimpah. Istri atau suami, serta anakmu tumbuh
sempurna. Lalu, adakah riwayatmu meraupkan kenang, pada sebuah sosok yang kelam
akan hitam? Kau tentunya pernah mendengar tentang kisah rakyat yang meluapkan
sesal kepada seorang putra durhaka. Dan sesalnya, seakan menjadi pelajaran hingga
kisah itu melupa. Masih beranikah Kau lupa akannya?
Maka, di akhir ceritamu
yang singkat, kusadarkan Kau tentang betapa berharganya Ibu dalam hidupmu.
Sudahkah Kau mengirim secarik kabar padanya hari ini? Kau ingat, dua puluh
tahun silam, tepat di hari ini, Kau lahir, meninggalkan rahim kokohnya untuk
menatap dunia. Setelah tahu segemerlap apa lampu kota, Kau merasa silau dan
mulai menutup mata.
Kalau pada akhirnya Ibu
tahu tentang kelakuan anak-anaknya, masih sudihkah Ibu melahirkanmu, memandikanmu,
menyusuimu, melagukanmu, serta menjadikan perihal hidupmu menjadi sempurna di
balik lekatmu?
Jawabnya, iya. Sungguh, Ibu tak menginginkan apa-apa,
hanya memintamu untuk tidak cepat-cepat melupakannya...
(IPM)
Bandung, 2013-2015