Tabrak
aku, wahai bus kota! Aku ingin merasakan mati, dengan memori yang bersimbah
darah dan luka!
KLAKSON bus kotamu berbunyi
berkali-kali. Supirnya mabuk, sering menyela para pemakai jalan lain yang
berjalan rapi. Kau, terus memegangi tangkai bangku di depanmu. Erat. Demi detik
menjauh, semakin enggan kau melepas ragu. Raihmu melemah, tak tahan lagi. Untuk
akhirnya kau menyerah, turun dari bus sialan itu, bersama ibumu.
"Kiri Pak! Kiri!"
teriak ibumu kencang.
Sein lampu bus tidak
mengedip, tapi bus tetap melenggang menepi. Tanpa basa-basi. Tanpa permisi.
Lantas bus itu berhenti. Sopirnya marah, mencela kalian lengkap dengan kasar
kata-kata.
"Banyak orang gila di
sini," desahmu.
Sambil berlalu, digandengnya
tangan wanita itu, perlahan.
***
BUS yang lain baru akan
melenggang lima belas menit lagi. Kau terhenti, merapikan beribu letih yang
terenggut dalam hati. Jemarimu, kini bergetar keras tak menentu. Seperti ingin
meninju sesuatu yang tak pantas kautuju. Namun, desah napasmu pelan, laksana
burung yang terbang enggan.
“Kau tak apa, Sayang?” tanya
ibumu.
Kau hanya diam. Tersenyum.
Entah baik, entah sakit, yang kaurasa di sepanjang siang. Dan bus yang
kautunggu akhirnya menerawang di antara keheningan.
“Sudah datang, Bu. Ayo
bereskan barang-barang kita dan naik,” ajakmu.
***
AKU terhenyak, tapi tak
mengisyaratkan banyak gerak. Ketika kau lewati bangkuku untuk duduk pada kursi
kosong di belakang. Aku kian memerhati. Namun, aku tak bisa menegur sapa.
Ronamu hijrah, seiring panjangnya mata yang melirik sebaris wajah. Tudung
cokelat itu, melenggang indah dengan pasti. Dan aku, tak kuasa menahannya
pergi.
Kau meletakkan ragamu kini.
Tepat di balik lekukku. Ibumu, tak lupa menemanimu dari sisi sebelah. Bus kota
bising melaju. Namun terasa sunyi, tanpa notasi, tiada yang berbincang sama
sekali.
Dalam hening, aku tahu ada
jiwa-jiwa yang meminta sesuatu untuk diijabah. Entahlah, barangkali aku
termasuk jiwa fakir yang gemar meminta-minta.
“Tuhan, pertemukan aku lagi
dengannya. Sebab, aku telah melihat mataku di matanya,” tutupku dalam rintihan
doa.
***
SEPERTI dalam romansa, atau
juga elegi picisan, maka dalam suatu waktu mereka dipertemukan oleh
ketidaksengajaan. Lantas mereka memadu kasih, saling memandangi, dan berlabuh
pada tinggi pelaminan. Kelak, mereka memiliki beberapa anak yang manis, pintar,
dan lugu. Hidup mereka bahagia. Sang suami bernama Senja, dan sang istri
berasma Jingga. Ya, Senja memang seharusnya berlatarkan Jingga. Namun maaf, ini
bukan kisah seperti yang kalian ingin. Mungkin sedih, serta berliter tangisan,
lebih manusiawi ketika diakhirkan pada sebuah kejadian. Sudah kubilang, jangan
kau tergoda oleh bahagia. Malah, kau patut menaruh curiga kepadanya. Karna
kutahu, di dalam riangnya yang agung, semangkuk racun siap dihidangkan untuk
merutuk tangismu pada tajamnya relung. Dan kau, mungkin tak percaya, jikalau aku
pernah mengalaminya sebelum roman ini dicipta.
Laksana pada episode yang
lain, hidup memanglah menghadirkan banyak rasa. Ketika kau bertemu dengan orang
yang kaucinta, boleh jadi nirwana seperti kaugenggam berdua. Namun, pada masa
dia yang kaucinta pergi bersama lain kekasih, surgamu tiba-tiba memerah,
terbakar oleh amarah, dan boleh jadi kau merutuki kepergiannya yang hampa. Oh,
bukankah pengkhianat memang pantas untuk pengkhianat yang lain?
Namun, kau tetap bersedih,
mengurung diri dalam kamar dengan hiasan lelehan air mata di sana-sini. Basah.
Resah. Lelah bercampur kecewa dengan emosi memenuhi ruangan lengang yang terasa
tanpa udara.
“Menangislah satu, atau dua
hari. Yang pasti, pada hari ganjil berikutnya, aku mau melihat lesung pipitmu
lagi...” pintaku padamu.
***
KAMI menaiki bus kota yang
sama. Namun, kau tak bersama ibumu. Tudungmu juga tidak berwarna cokelat. Tak
ada yang akan menabrakkan diri. Tiada pula yang ingin merasakan mati. Oh, supir
bus kotanya tidak gila dan ugal-ugalan seperti dulu. Kau tidak turun untuk
menaiki bus berikutnya. Serta aku, kini tak duduk di depan kursimu. Dan kau,
tak acuh seperti dahulu ketika melewati mataku yang mengusik bayangmu.
Tanganmu, tanganku, sekarang berpangku pada lelah yang sama. Kepalamu bersandar
ke kanan, dan pundakku berubah bidang menjelma penopang. Dari mataku, terlukis
binar-binar asmara yang menghangatkan seisi ruangan bus kota.
Maaf, aku tak sanggup
mengubah jalan ceritanya. Biarlah kisah ini menjadi romansa picisan yang
dijajakan sesuka. Kalian tahu, ketika kuliskan kronologi ini, sisi kiri
tanganku sedang menggenggam tangannya yang sedingin embun. Sedang yang lain, sibuk
mengabarkan seluruh bait bahagia kepada kalian. Sungguh indah, bukan?
Oh
ya, perkenalkan, kekasih baruku: Farita, Nona Manis dalam Bus Kota.
(IPM)
Bandung, Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini