Meja di sudut rumah makan cepat saji
dekat kampus ialah tempat favorit bagi kami untuk mengulum masalah duniawi. Di
sana, tiada yang menghirau setiap tanya atau tawa. Semua manusia acuh-tak-acuh,
berpegang pada urusannya sendiri. Dan kami, selalu memiliki bahan untuk
dijadikan cerita. Maka simaklah!
Sebelumnya, aku akan memberi tahu
siapakah kami. Perkenalkan, namaku Atma, si Tukang Cerita, di samping kananku,
Dya, serta seseorang yang berada di depan, Ana. Kami bertiga bersahabat, atau juga berteman
secara sangat baik. Sebab, dalam alibiku tiadalah yang disebut sahabat antara
lelaki dan perempuan, yang ada hanya kekasih. Namun, beginilah kami.
Aku tak sejalur dengan mereka. Dya dan
Ana berasal dari satu kota yang sama, Kota C. Kota yang mengisyaratkan ‘Mega
Mendung’ untuk setiap siang yang terik. Entahlah, aku tak seberapa mengenal apa
makna yang terkandung di dalamnya. Dan aku, sebenarnya juga belum pernah
bersambang ke kota itu, karenanya, aku tak sanggup mengkisah lebih lama.
Kukisahkan pada kalian tentang dua kawan
terbaikku kini. Baiklah, aku mulai dari Ana, wanita tinggi jenjang yang rentan
‘tersakiti’. Oh, sabarlah, itu hanya kiasan. Sebab, dia kutahu ialah salah seorang perempuan paling tangguh di kelas. Aih, barangkali kepribadiannya
terbentuk dari apa yang telah diajarkan oleh orangtuanya. Dan lagi-lagi, entahlah,
aku tiada kuasa, belum seberapa dalam mengenalnya.
Yang kedua, Dya, perempuan teranggun
hasil sebuah pemilihan angket di kelas. Dya sangat ramah serta gemar tersenyum
renyah. Dalam anganku, andai aku menjadi seseorang yang asing baginya, barangkali
aku telah jatuh hati kepadanya. Tetapi, seperti kata Dya sendiri, bahwasanya
jangan pernah menilai seseorang dari apa yang ditampilkan. Kau perlu melihat
lebih dalam dahulu, sebelum ragu, dengan lekat menjemputmu. Setelahnya, aku
mulai tahu siapa Dya. Seperti yang kalian tebak, aku tiada jadi melakukannya.
Kami bertiga gemar menghabiskan malam
di pinggiran kaca sambil memerhati sesiapa yang pergi-datang. Di meja kami, selalu
tertegun uap kopi yang tak hangat lagi. Entah punya Ana, Dya, atau aku,
senantiasa menghabiskan spasi meja yang penuh kertas-kertas ujian duniawi.
Di sini, jikalau kau tak berteman, barangkali lamat-lamat kau jualah yang akan
hilang. Sebab, hidup seyogyanya memang harus dibentuk dengan benturan dan tekanan. Alih-alih bermain, setelahnya kau akan menangisi segalanya berpaling.
Kau mungkin juga tengah paham, tentang
bagaimana malam memilih beberapa kisah untuk nantinya diceritakan. Ya, memang hanya
malam, yang akan membuatmu menjadi sendiri dirimu, utuh. Dan ketika malam pula, kau justru akan
menampakkan sisi lain darimu, di mana kala siang tiada mencerna segala terik bayangmu. Kau,
tampaknya mulai menguakkan bias hingga sesiapa tak mengenali, lagi.
“Kau anak muda, kau bebas melakukan
segala. Kalau salah, ya salahlah di kampus, sebab segalanya akan dimaafkan.
Namun, kau harus ingat, bahwa nantinya semua harus benar,” jelasku.
Entahlah, aku sangat gemar berkata
seperti itu di depan mereka. Karena, hidup hanyalah teruntuk para pemberani, yang
tiada berdiam di zona nyaman. Ketika tidurmu tak lagi tenang, mungkin itulah
tanda bahwa kau telah memilih jalan hidup dengan benar. Dan masih dalam hidup, mereka
yang menghindari bahaya, akan selamat. Namun, mereka yang menaklukkan bahaya,
akan semakin kuat. Maka, terserah kau akan memilih, yang pasti kaulah
penentu hidupmu sendiri.
Berpegang dengan cinta, ya, tiada dari
kami yang tak lepas dari kata sederhana pemilik para dewa. Kami bertiga,
sungguh memiliki lembar hitam-putih masing-masing akan rasa. Coba kalian
perhatikan, Ana, Dya, dan aku sungguh mengidolakan alfabet nama seseorang yang
sama. Ya, tak perlu kusebutkan, barangkali saat kalian membacanya, kalian akan
tersenyum sendiri mengenangnya.
Ana dan Pangeran kuda besi. Oh, malang
benar nasib Pangeran itu, sebab dia tak pernah tahu betapa ada seorang gadis
baik yang mengharukan mimpi di atas namanya. Dan mungkin, Pangeran itu hanya akan
menjadi angin lalu, yang terbang entah ke mana menjemput lain kekasihnya. Kau
tahu, Pangeran, cobalah sesekali kau terka sekitar pandanganmu, lihatlah
lamat-lamat matanya yang sayu. Kelak, barangkali kau akan merasa kehilangan,
ketika Ana tak lagi mencintaimu, serta kau tak pula mendapatkan hati idamanmu
yang lain. Tapi, itulah cinta di dunia, hanya luka, atau barangkali nestapa,
yang gemar dipeluk manusia.
Dya dan Kaisar tanpa jati diri. Ya,
setidaknya kisahnya tentang Kaisar cukup mewangi dibanding cerita Ana dan
Pangeran. Sebab, mereka sejalan, dalam ruang dan keserasian. Sang wanita
rupawan, serta sang lelaki menawan. Mereka berdua sama-sama pintar dalam urusan
materi, selebihnya aku kurang mengerti. Aku cukup mengenal sang Kaisar,
barangkali juga teman dekat. Dan aku sungguh mengerti bagaimana darinya seorang
lelaki memposisikan diri. Aku cukup banyak berubah darinya, sebab, aku gemar
memiliki rival. Tenanglah, tak bertujuan lain, hanya untuk memantaskan diri. Tetapi,
apakah mereka berdua bahagia? Ataukah hanya topeng yang dirautkan keduanya?
Jawabnya tak tahu. Sebab, terkadang orang yang begitu dekat denganmu, justru
kau sungguh tak benar-benar mengenalnya.
Tentang ceritaku, barangkali kau telah
hapal akan semuanya. Kau tinggal memilih kisah apa pun di dalam setiap bait
karyaku, karena, segalanya adalah tentangku. Bukan yang lain. Apabila kau
membaca Bunga untuk Sesiapa, maka kau akan kubawa ke era putih abu-abu yang
haru. Atau apabila kau mencerna tentang Ada Pelangi yang Tak Pernah Mengukir Ujungnya,
sungguh kau akan kuantar pada taklidnya cinta diam-diam kepada seseorang. Jadi,
itulah ceritaku, lengkap dengan kata, serta ilustrasi yang dibawa.
Bersama Dya dan Ana, aku menjadi diriku
sendiri. Begitu pula dengan Ana ataupun Dya ketika berucap kepadaku. Tapi maaf,
kami berdusta. Sebab, tak ada yang paling mengerti mengenai hati, dibandingkan orang itu sendiri.
Dan akhirnya, inilah frasa-frasa terakhir untuk kalian: wanita
yang baik hanya untuk laki-laki yang baik dan sebaliknya, sementara yang baik
menurutmu belum tentu baik bagimu dan sebaliknya, serta terkadang seseorang yang
mencintaimu ialah dia yang tidak pernah menyatakan cinta padamu.
Sekian dahulu kisah tanpa alur dariku.
Maaf, keretaku sudah datang, sampai jumpa lagi semester depan.
Selamat liburan, Dya, Ana,
Kawan!!!
(IPM)