Tak perlu bergelar
Eyang untuk bisa dekat dengan beragam perempuan. Contohlah dia, Tuan, pria
sejati untuk para perempuan...
AKU masih menyalakan mata, untuk sebuah perjalanan
terakhir malam ini. Lampu-lampu natrium, kekuningan menguapkan kabut. Perlahan,
terdengar suara napas panjang berpeluh di balik kursi tempatku mengemudi. Tak
perlu kuperhatikan, aku hanya harus memastikan keduanya aman berpulang; pada
tepi jalanan, dan pada rumah penderma yang megah nun elegan.
"Sudah sampai, Tuan, silakan!" kataku saat
subuh berangsur menggusur malam.
***
TUANKU begitu ramah ketika berbicara dengan rekannya.
Dia, selalu bisa menempatkan diri pada setiap percakapan. Bibirnya manis,
seperti hendak mengulum seluruh telinga yang memerhati.
Aku belum cukup lama menemani Tuan ke sana ke mari. Baru
sekitar enam bulan, sejak seorang teman menelepon bahwa ada pekerjaan istimewa
untukku. Gajinya besar, tapi cukup lelah, karna aku harus bersedia lembur
setiap hari, akan dipakai sebagai supir seorang pejabat negeri ini. Tak apa,
asalkan dapur tetap mengepul di rumah, aku rela.
***
BERCERITA tentang Tuanku, sungguh tak akan berhenti begitu
saja di sini. Barangkali, kau juga cukup mengenal jati diri Tuan daripadaku. Kau
bisa dengan mudah mendapatinya berbicara soal moralitas dan integritas bangsa
di televisi atau acara pemerintahan. Bahkan saat pidato, dia begitu bersemangat
bak orator yang menyuarakan sejati kebenaran. Tak lupa, ditambahkannya pula ayat-ayat
di bagian penghujung naskah agar lebih dipercaya pembenarannya. Lengkap sekali,
Tuan. Kau membohongi mereka dengan alibi agama. Ya, agama ialah salah satu
barang dagangan terlaris di dunia politik. Dan kau, apabila ingin cepat menuai
dukungan, contohlah Tuanku, dia lihai sekali bertopeng baik di depanmu.
Baju kemeja putih, dipadu dengan jas hitam atau jaket
kulit ialah tampilan Tuan sehari-hari. Flamboyan, atau lebih pantas kusebut
pencitraan. Oh, jangan mudah percaya pada penampilan seseorang. Bukankah yang
diam justru biasanya menghanyutkan? Atau juga yang ramai, seyogyanya hanyalah
tong kosong yang nyaring ketika dibanting? Maka, kau harus berhati-hati.
***
PERTENGAHAN siang bergulat, dering ponsel sentak
mengheningkan suara untuk bergegas menemui tuannya. Jalanan ibukota tengah hari
memang menyebalkan, sangat padat.
Tapi, bukankah macet hanya untuk mereka yang tak beruang?
Yang kaya, atau juga memiliki jabatan berlimpah, cuma perlu memanggil pasukan
kuda besi yang berisik. Dipasangnya sirine-sirine untuk meminta semua minggir,
maka kau dengan cepat sampai pada tujuan yang tak jelas. Aih, kali lain, biar
kudatangkan ambulans saja, tak berbeda jauh sepertinya, antara kendaraan
pejabat, dengan kendaraan orang sakit yang tak lama akan menjadi mayat.
***
"AH, lama sekali kau! Cepat, antarkan aku ke kantor
proyek yang kemarin siang!" ujarnya, ketika aku terlambat lima menit untuk
datang.
Di sudut mobilnya yang luas, ada beberapa tabiat Tuan
yang aneh ketika mengisi keheningan perjalanan. Dia gemar mengutak-atik
ponselnya, menanyakan kabar kepada beberapa orang, yang aku terka mereka semua
adalah wanita. Sebab, Tuan selalu memanggil mereka dengan sebutan: Sayang,
Manis, atau kata-kata khas seumuran anaknya yang ABG.
Oh, barangkali memang Tuan tengah mengalami pubertas
kedua.
***
AKU selalu menjemput Tuan di kantornya yang tinggi
menjulang selepas Isya'. Entahlah, dengan uang siapa gedung ini dibuat.
Anggarannya pastilah sangat besar dan rumit. Dalam hal tender, barangkali
dahulu haruslah perlu dilakukan gratifikasi atau semacamnya. Aih, siapa yang
tak mau menjalankan proyek untuk sebuah badan pemerintahan?
"Langsung ke hotel biasa ya!" katanya.
Dan, kami pun mengunjungi tempat-tempat malam yang
mengheningkan sesiapa. Tapi, sungguh tempat yang Tuan kunjungi ialah
persinggahan yang ganjil. Sebab, suasananya bak terbalik: sepi dan muram di
depan, tetapi ketika masuk, kau akan mencicipi apa itu yang disebut dosa
termanis. Silakan kau taksirkan sendiri.
"Oh ya, kalau Nyonya telpon kamu bilang saya masih
di kantor, ada lembur," ucap Tuan sambil melempar selembar uang pecahan
seratus ribu.
Aih, dia sangat perhatian padaku, atau juga dia tak mau,
apabila aku akan mengadu pada Nyonya, yang begitu lugunya percaya akan apa yang
dilakukan suaminya.
***
"SIAPKAN mobil, saya mau keluar," katanya,
ketika jam tanganku menunjukkan pukul tiga pagi.
Aku bergegas menghampiri. Kunyalakan mesin, kuteguk
kaleng kopi murahan sampai habis, dan perjalanan siap kubumikan kembali.
"Tolong antarkan dia ke daerah Kebayoran, dia tampak
tidak fit. Setelah itu, kau balik lagi ke sini, antar saya pulang,"
pintanya.
***
WANITA itu duduk di kursi belakang. Sendirian. Berteman
tas kulit keluaran luar negeri, serta gaun minim berwarna biru laut. Kakinya
jenjang, putih, dan meruakkan nafsu agar terus memerhati.
"Aih, wanita Tuan yang baru. Nomor wahid. Tak ada
yang mengalahkan," desahku.
Aku masih memicingkan pandang melalui ekor mata,
menikmati ceceran rona wanita Tuan. Gincu merah di bibirnya begitu pekat,
seakan tak pudar bahkan ketika usai bermanja dengan Tuan. Oh, tebal dompet
memang terkadang menentukan siapa yang menemani ketika malam.
***
"SUDAH sampai Nona, silakan!" ucapku padanya,
yang lekat-lekat beranjak dari jok empuk mobil termewah.
Dia melemaskan kakinya perlahan, dan keluar. Mobil
melenggang, menuju hotel, menjemput Tuan. Jalanan ibukota dini hari memang
sangat berbeda. Banyak hal yang tak terlihat ketika siang, dan saat malam
dibukanya kelam-kelam tanpa sebuah penghalang.
Kalau kau lewat di persimpangan tertentu, jangan
coba-coba membuka kaca mobilmu. Kau tahu, sekali salah langkah, bisa jadi kartu
pengenalmu yang tersisa.
Atau, saat kau mengalunkan jalur ke sebuah jalanan yang
ganjil, maka kau akan melihat bidadari-bidadari malam yang gemar menawarkan
tarif sewa. Kau tahu, apabila kantongku cukup tebal, barangkali sesekali kubawa
satu, untuk teman selagi mengemudi agar tidak sunyi.
***
TUAN mengajakku ke sebuah alamat rumah di sekitar daerah Jakarta
selatan. Seperti biasa, selepas pulang kantor di hari kerja, Tuan tak pernah
langsung pulang ke rumah. Barangkali bosan, melihat istri yang gemar berceloteh
ini-itu kepadanya. Maka dia, memalingkan muka ke selir yang lain, yang
mendengar keluhnya dengan tarif sesuka.
"Kali ini siapa lagi?" tanyaku.
Wanita Tuan sangatlah banyak. Mulai dari pemudi kuliahan,
rekan kerja, model majalah dewasa, penyanyi dangdut murahan, hingga artis
ibukota yang tengah redup sinarnya.
Ya, yang masih punya nama tak akan didekati. Kau tak
sebodoh itu, apabila gerikmu terdengar paparazi
dan karnanya karier politikmu hangus tak berperi.
Tuan turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah
wanita itu. Sendirian. Seakan telah mengerti bagaimana cara memperlakukan diri.
Tak berangsur lama, Tuan keluar, sambil menyuruhku membelikannya berbagai
keperluan untuk malam ini ke apotek.
Aih, aku ini supir atau pembantu rumah tangga? Mau-tak-mau
disuruh untuk menjalani keduanya.
Ya, Tuan barulah keluar kembali lepas pukul tiga pagi.
Wajahnya lelah. Tapi lega tertancap dalam asa. Kau pasti begitu hapal akan raut
wajah majikanmu, sehabis meluapkan amarahnya pada ragu. Berteman perempuan,
bergulat dengan cahaya ruangan yang temaram.
Saat berlalu, aku melihat sebuah mobil putih merk terbaru
terparkir rapi di dalam garasi rumah itu. Aih, itu pasti pemberian Tuan. Oh, sungguh
dermawan Tuanku, tak khayal jikalau banyak wanita yang hinggap di lembar hidupnya.
***
BERSAMA Tuan, aku berangsur memiliki relasi yang luas.
Rekan Tuan sangatlah beragam, mulai dari bos-bos proyek, tokoh anggota dewan,
tukang penyelesai kasus, aparat hukum, pengenyam pajak, pemimpin agama, hingga
penghulu.
Beberapa aktor penting yang barusan kusebut hukumnya
wajib untuk didekati. Sebab, di dunia ini kau tak sanggup untuk sukses sendiri.
Perlu kawan, atau juga rekan sejawat, yang akan mendukungmu dengan alibi
berbagi hasil.
Namun, ada satu yang juga penting di antara lakon yang
kusebut: penghulu. Kau tahu, Tuan lagaknya pernah sekali waktu berkunjung ke
tempat seorang penghulu denganku. Membawa seorang janda kembang beranak satu,
dia menggamit lengannya pelan menuju persinggahan.
Sang wanita tak bergolek, ketika Tuan menghujamnya dengan
rayuan dan tibalah mereka di depan penghulu bayaran itu. Alih-alih perlu
seorang saksi, maka akulah yang mewujudnya sepi.
Tanpa pelaminan, tanpa orang terdekat yang datang, serta
tanpa kebaya atau baju khas calon sepasang pasutri, Tuan berjanji dengan mulut
manis berisi racun.
Nikah sirih, ialah pekerjaan Tuan berkelit daripada hukum-hukum
Tuhan. Dosa, ternyata sanggup dibohongi dengan aturan yang tertera. Kau lihat
Tuanku, diam-diam menambah seorang selir, tanpa istri sahnya menyantunkan
syair.
***
SEKALI waktu, Tuan pernah mengutusku mengambil sebuah
pemberian rekan proyeknya. Tuan hanya memberikan alamat, dan langsung
melenggang ke dalam kantornya lagi.
"Kau angkut ya bingkisan kado itu ke sini. Tapi,
jangan kau biarkan seseorang mengetahui," pungkasnya gugup.
Pesan Tuan mengisyaratkan sebuah paket yang sangat
rahasia. Dan benar saja, ketika aku sampai pada alamat yang dituju, bukanlah
bingkisan kado yang kubawa, melainkan satu raga: wanita.
Oh, aku baru sadar jikalau hadiah rekan Tuan ialah
seorang wanita. Barangkali, inilah yang disebut oleh rekan-rekan Tuan sebagai:
wanita dalam bingkisan kado.
Aih, najis benar pekerjaanku ini. Aku mengantarkan seorang
jiwa untuk keperluan jiwa yang lain. Dan benar adanya, ketika urusan bisnis
begitu rumit dan kompleks untuk diselesaikan, barangkali wanitalah yang akan menjamin
segalanya lancar. Seni politik masa kini: kreatif, dan inovatif.
***
PERNAH suatu malam saat menunggu Tuan keluar tempat
karaoke berfasilitas lain, aku tergerak membayangkan, memposisikan diri mewujud
istri Tuan. Aih, aku masih tidak habis pikir sebagai dia. Mana mungkin sanggup
menjalani semua sendirian.
Tengah malam, Tuan jarang sekali pulang. Tuan, barulah
datang ke rumah sehabis subuh diretas. Kuperhati, Tuan lebih mirip seorang
banci, yang letih setelah mangkal di
sepanjang dini hari.
Tuan, kau sungguh aktor panggung kehidupan terhebat. Kau
bisa menjadi seorang birokrat yang bermoral ketika siang. Berbincang bak
malaikat dengan obrolan istilah politik kelas atas. Lagumu ialah lagu
memberantas ketidakbenaran. Liriknya lugas, tanpa ampun menyalahkan yang tak
baik. Tapi di malam hari, kau, Tuan, laksana serigala yang meneteskan liur-liur
nafsu hewani. Kau jejali setiap bayang dengan semu kenikmatan. Dan kau, sanggup
melakonkan semua secara rapi, sarat estetika, dan berseni.
Kau lelaki, bukan
banci!
***
TUHAN cuma satu? Tuan hanya satu? Ulasnya tidak. Tuan tak
hanya satu. Tapi Tuhan satu. Tuan bukan Tuhan. Banyak Tuan yang mengaku
ber-Tuhan tetapi kau tak bisa menakzimnya beriman.
Perilaku Tuan sungguh liar dan berbahaya. Lebih menantang
daripada pemberontak. Mungkin Tuan cukup, atau barangkali sangat dekat dengan
Tuhan, hingga tak takut segalanya terbongkar dan berantakan. Atau, Tuan
hanyalah logika yang tak mengerti, akan apa itu karma yang hakiki.
Selalu ada celah pada setiap perbuatan. Dan seyogyanya
dunia, senantiasa melahirkan balasan dari bermacam kelakuan.
Tuan, kau bukan
insan!
***
SEMAKIN hari, semakin pula tingkah Tuan menjadi-jadi. Dia
tak tahu, atau juga lupa akan sebuah kalimat bijak milik berantai orang
terdahulu. Bukankah sepandai-pandai tupai
melompat, pasti dia akan jatuh juga? Maka, Tuan pun akhirnya tersandung
dengan para selirnya sendiri.
Tuan tertangkap basah oleh pihak penyidik tengah berdua
dengan perempuan muda di sebuah hotel. Dia berdalih, jikalau ini ialah murni
perlakuannya yang pertama. Dia, sungguh tak mengaku akan kabar bahwa masih ada
selir-selir yang lain di luar sana.
Siapa yang tahu?
Siapa yang paling mengerti akan apa yang dikerjakan Tuan sehari-hari?
Jawabnya aku. Akulah yang paling hapal ke mana Tuan
melagu. Akulah yang paling paham kapan Tuan berkunjung pada tempat-tempat
penukar penat. Dan akulah, yang paling lihai menyembunyikan kebenaran Tuan di
balik Nyonya ataupun sesiapa.
Sebelum penyidik datang kepadaku, ketahuilah, sehari yang
lalu, aku lamat-lamat dipaksa melupakan wajah Tuan untuk selama-lamanya. Memoriku
digali, dimasukkannya jiwaku ke dalam perih.
Timah panas itu tak tahu-menahu menghujam tempurungku
yang kaku. Oleh orang bertopeng, aku dimusnahkan. Jasadku dipotong-potong dan
disebar di beberapa kali beraliran deras.
Ya, setidaknya, aku masih sempat bercerita padamu tentang
segalanya. Perihal Tuan beserta selir-selirnya. Ketika kau membacanya, pahami, akulah
saksi kunci yang seharusnya hadir pada sidang dakwaan Tuan. Bukan dia, supir
bayaran.
Kau hebat, Tuan. Kau
lenyapkan aku dengan elegan...
(IPM)