"Sebenarnya, apa itu setia?" katamu.
Jawabnya ragu: ketika kau memiliki pilihan, dan kau tak
mempergunakannya, atau saat kau bisa berpaling, tetapi tetap ronanya yang kau gamit
pelan.
Itulah makna setia dalam alibiku, Nisa. Sejujurnya, aku tak
cukup mengerti soal kata-kata sederhana, namun perlu berlarik majas
menerangkannya. Aku hanya lelaki, bermata dua, dan berhati satu: kamu.
***
"Sebenarnya, apa itu kejujuran?" katamu.
Jawabnya ragu: ada waktunya di mana kau harus berkata
tentang apa yang telah terjadi sebenarnya, dan kau mau-tak-mau akan kehilangan
segalanya. Wajahmu menghitam tertutup umpatan, tanganmu legam menahan
tampikkan, dan matamu sayu, melihat yang kau punya luruh.
Itulah makna kejujuran, Nisa, yang pahit di awal, yang
getir di muka. Tetapi, cobalah kau telusuri ujungnya, barangkali kau akan
menemukan surga di sana.
***
"Sebenarnya, apa itu perpisahan?" katamu.
Jawabnya ragu: ada kalanya memang Tuhan menciptakan
pasangan untuk segala kejadian. Siang berpasang pada malam. Suka berpeluk pada
hangatnya duka. Lelaki bersanding dengan wanita. Atau yang lain, seperti
pertemuan, yang hanya akan mengakhirkan pisah dan gemuruh air mata.
Oh, sekejam itukah Tuhan memasangkan? Mengapa harus ada
akhir, apabila awal seperti malu-malu diretas? Dan mengapa mesti ada jangka
waktu, ketika kau temui kekasihmu, dan kau tak ingin melepasnya utuh?
Itulah makna perpisahan, Nisa, yang terkadang baru terasa
sebegitu berharga, jauh ketika dia tak kuasa saling berkata. Dan kau, hanya
akan meratapi, tapi hidup, akan terus menggilas sesiapa yang sunyi.
***
"Adakah benang merah antara setia, kejujuran, dan
perpisahan?" katamu.
Jawabnya ragu: tak tahu.
"Aih, kau bohong, Lelaki!" sejenak suaramu
meninggi.
"Apakah kau lupa akan ketidaksetiaanmu dulu? Apakah
kau sengaja tak mengingat akan ketidakjujuranmu saat itu? Atau, apakah
perpisahan kita hanya menjadi bukti kedustaanmu pada janji? Ayo jawab!" kau
menyudutkan.
Cobalah kau perhatikan, Sayang. Siapa yang tak setia? Adakah
aku pernah berpaling pada seseorang? Bukankah yang kutuju selalu satu: kamu?
Kau tak memerhati, masih terpejam sambil setengah
sesenggukan.
Baiklah, akan kuulangi perkataanku. Oh, cobalah kau
perhatikan, Sayang. Siapa yang tak setia? Adakah aku pernah berpaling pada
seseorang? Bukankah yang kutuju selalu satu: kamu?
Maaf, tapi bukan kamu...
Maaf, tapi bukan kamu...
Dialah Tya, wanitaku, yang kukejar terus bayangnya. Yang
kukagumi hitam-putih matanya. Yang kumimpikan di setiap gelap, hingga terang
takkan sanggup membangunkan. Aku selalu setia pada Tya. Aku selalu jujur pada Tya. Dan aku, takkan menghadirkan pisah, sebab jumpa tak pernah mewujud dalam
nyata.
Kau hanya uap, Nisa. Kau hanya bunga, yang layu ketika
air tak lagi menyirammu. Tapi Tya, tak butuh air dariku untuk hidup, maka aku
memagutnya meski susah.
"Kau bodoh! Kau jalang! Kau bukan manusia,
Bajingan!" hardikmu memekakkan telinga.
Tapi maaf, Nisa. Aku tak bisa.
Terimalah, inilah aku, Lelaki, yang selalu mencari-cari,
ketidakpastian, yang tak pasti.
(IPM)
Bandung,
Mei 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini