Pernahkah kau jatuh
hati pada sepasang mata seseorang, hingga kau tak kuasa menggenapkan?
Perkenalkan, asmaku Satrya, lelaki seumuran suami-suami
muda yang tengah merintih karirnya di dunia. Aku belum beristri, belum pula berikatan
dengan seseorang yang kau takjub akan menjadi rahim tempat benih putramu kau
tanam. Aku bebas, selaksa merpati pada sepenggalah langit, yang putih, yang
bersih, yang gemar mencukil tiap kenangan-kenangan sunyi.
Lihatlah, ada yang masih bermata pada hari yang telah
lelap. Siapa pemilik mata itu? Aku ingin tahu.
***
AKU menyukai matanya yang teduh, selaksa mengguyur luka
dengan air cuka. Perih. Pedih. Namun perlahan, coba kau rasakan, kau akan
sedikit demi sedikit menikmati nuansa dalam kesakitan. Maka, siapa bilang
manusia tak mencintai sakit?
Kau tahu, aku begitu menggilai sepasang mata itu. Sebab,
hitam-putihnya ialah amat sempurna. Apabila dalam sebaik-baiknya bentuk ialah
lingkaran, mata mata itu ialah lingkaran. Dan jika seindah-indahnya lekuk
adalah pahatan, maka mata itu adalah pahatan, buah karya Sang Titihan.
Mata itu, seakan melirik bak menjauh. Aku yang bergelora,
senantiasa mendekatinya. Kusapa pelan dengan mataku. Kurayu binarnya, kuusap
bait-bait rambut halusnya yang lentik, yang tiada pria kecuali ayahnya sanggup
memaknai. Tak kusadari, mata kami bertemu, pada ruangan gelap yang senyap. Kami
tak bermata, tetapi nirwana, rasanya begitu peluh mengalunkan kesah. Kami
melumat lelah bercampur desah.
***
AKU masih menjaga setiap jengkal kenangan dalam
ruang-ruang memori yang sempit, tak luas, tiada memberikan jangka gerak yang
bebas. Ragaku sering berlari meninggalkan sepasang mata itu sendiri, tetapi
nyata, ialah hanya kata yang tak akan bisa dijamah. Barangkali, aku sekadar menggauli
letih, rasaku sunyi, dalam bayangku, bayangmu membuncah melucuti.
Kau tahu, pada hari senja yang tak berpelita dahulu, aku
pernah menyediakan cukup air untuk kau basuh sepasang matamu. Masih di hari
itu, hujan menangis seduh, diguyurnya tanah-tanah kering yang tegang, seraya menghempas
tiap-tiap pati yang geram. Patimu basah, dan kau, menguakkan aku untuk
memayungi pemilik sepasang matamu.
Aih, hujan, memang terkadang sangatlah kejam, apabila kau
telah ketahui rasanya, dan kau tak bisa merajamnya seketika, barangkali hidupmu
remuk, tak mengalurkan sempurna. Aku terdiam, tapi coba kau lihat wahai pemilik
mata, aku terbang, melayang, dan hinggap pada ranting-rantingmu yang rapuh,
terpenuhi bayangnya, yang kau takzim mengibahkan raut lelakimu.
***
AKU mengenal lelakimu, yang gemar menjadi bayangan orang
lain. Dia meninggalkan jati dirinya untukmu. Dia takkan pernah berkata banyak
ketika di dekatmu. Alibinya satu: lelaki itu harus pendiam. Aih, cobalah kau
terjang matanya. Bukankah lelaki tanpa aksen jati diri itu lebih pantas
mengenakan rok wanita? Mana mungkin dia bisa mendekapmu, apabila jiwanya dia
lepas entah ke mana? Seharusnya kau mulai curiga.
Namun mata itu, tak lebih seperti seorang penikmat cinta
yang lain. Enggan mengenakan gaun logika, ketika rasa tengah didekapnya
sempurna. Kau, hanya bisa meratapi ketidakjelasan yang dia berikan. Kau pun
tengah mengizinkan, seseorang lain untuk dia undang ke ruangnya. Kau tahu,
siapakah yang disebut ‘lelaki’ itu sebenarnya? Dialah dia, yang takkan mengubah
dirinya untuk sesiapa. Cukuplah dia, dengan tingkah yang sengaja dibawa.
***
KALI lain, aku sungguh menyesal telah jatuh hati pada
sepasang mata itu. Oh, sungguh sepasang matamu menutup mataku. Kau tak mengerti, betapa beratnya ketika kau dijadikan ruang
bercerita padahal kau sangat ingin meluangkan kisah? Dan kau sungguh tak
memahami, bagaimana perihnya saat kau tumpahkan kekagumanmu padanya, sedang aku
hanya bisa bergumam memakinya dalam asa?
Oh, inikah yang dinamakan jatuh hati secara diam-diam?
Yang tak seorangpun memahami, dan kau hanya akan menjadi tulisan di dinding
ruang hati. Tulisan itu terbaca, tetapi siapa yang tak ingin pula memilikinya?
Maka, kudekati kamu, dan kau semakin menjauh.
Ya, cinta itu memang layaknya merpati. Dia jinak
mendekati ketika kau menjauh pergi. Dan dia senantiasa melangkah jauh, saat kau
ingin bertemu pada setiap jengkal waktu. Barangkali, aku akan belajar
menjauhimu wahai sepasang mata..
***
TERAKHIR kali aku melihat matamu ialah kemarin. Dan sejak
saat itu, lamat-lamat kutitipkan mataku ke seseorang lain untuk disimpan.
Ketika aku tak bermata, aku takkan bisa menatapmu. Hanya bisa mengheningkan,
tapi raut tak kuasa mendampingkan.
Aku pun mulai terbiasa tak melihatmu. Dalam raga aku
berteriak, dalam rona aku memaki-maki: andai dahulu aku tak menatapmu, maka
kutahu, hanyalah dia yang kukecup sepanjang waktu.
Tapi maaf, aku masih merelakan
waktu, untuk tetap menunggumu...
(IPM)
Bandung,
Mei 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini