DENTING radio bergumam bak orang
kedinginan di kala hujan. Ya, hari ini memang rintik turun dengan derasnya.
Sesiapa tersapu. Mulai pedagang asongan lampu merah yang lusuh, tukang becak di
persimpangan pasar Kamis, penyanyi jalanan yang bergelayut di pinggiran halte
seraya menunggu bus yang hengkang, serta kamu, yang terdiam sendiri sarat ragu.
Seluruhnya berteman gigil yang senyap.
Tak bertenaga. Sering pula aku melihat wajah-wajah biru bekas tiupan udara pada
basahnya hujan. Semampai, selaksa rantai yang menggaris setiap daging dengan
tajinya.
Biru itu, kelak akan hilang dengan
sendirinya, ketika cahaya datang menguakkan hangat. Tapi, mentari takkan datang
lagi hari ini. Dia tengah tergelincir setengah jam yang lalu di ufuk barat. Dan
biru, barangkali akan setia bergelayut hingga esok hari, pada ragamu.
Rambut basahmu acak-acakan, menutupi
dahi yang basah terciprat rintihan hujan. Air langit memang terkadang
menyebalkan, ketika tak tahu waktu menjatuhkan diri. Padahal, kau ingat benar,
jikalau malam ini tengah kau janjikan pertemuan dengan seseorang di tempat ini.
Tempat yang seharusnya tak pantas untuk diwujudkan sebuah janji. Sebab, tidak
ada lilin di sini. Tiada kembang mawar yang berhias merah darah serta duri-duri
halusnya. Dua cangkir kopi kurasa tak hadir pula, terlagi rokok mentol, yang
terkadang menjadi teman cerita, sesaat sebelum seseorang terbaikmu bersambang.
“Aih, payah benar kau ini, memilih
tempat bertemu saja tak becus,”
desahmu, menahan dingin kota D yang bergulat malam, semakin pekat.
***
DIA masih belum datang. Kau, yang
sedari tadi berdiri dengan lekukmu, perlahan mencari-cari bangku lusuh yang
kosong. Tak berpenghuni, dan sepi. Kau pun duduk manis di sana, sembari
memutar-mutarkan hitam putih mata, menatap sesiapa. Ya, terotoar pinggiran Braga
memang indah ketika malam menjelang. Sinar neon, atau natrium lampu kendaraan sontak
mengingatkanmu pada kenangan lalu bersama seseorang, Bajingan.
Kau menyebutnya Bajingan. Nama yang
tak pantas ketika terlontar begitu keras dari bibirmu. Jujur, tak mungkin bibir
tegas berwarna sedikit ungu itu tega menguakkan kalimat umpat kepada sesiapa
yang tak salah. Namun darimu, kau sungguh menampikkan muka selagi berkisah
tentangnya. Kau tak sanggup lagi berkata-kata. Pandangmu hanya terarah pada
jalanan sempit berkelok nan macet di depan. Oh, sangat menyebalkan. Ketika
pendingin mobil sangat muak untuk diisap, terlagi jalanan hanya akan berhenti
tak bergerak. Mungkin benar, bahwa inilah wajah sehari-hari kota ini. Tak
berubah, meski setelah periode janji-janji manis calon pemimpin kota terlewati,
kota ini masih setia sebagaimana mestinya. Penuh masalah.
Bahkan, jikalau kami tak sengaja
melewati jalanan area C, rasanya menyesal karena tak mengelokkan setir mobil
terlebih dahulu. Sebab, sungguh jalan itu laksana hidung mampet yang tak
berlubang. Tersendat. Antara debu, klakson, umpatan, serta merah mata beradu
saling mendominasi. Dan kita, hanya akan menyaksi orang-orang bergeram diri. Di
balik kemudi, lengkap denganmu, yang menghela desah terlagi bercerita.
Kemudian kau, tiba-tiba membisu tak
menentu. Sebenarnya, aku masih menyimpan beribu tanya tentang lelaki yang kau
anggap layaknya bajingan tak bermoral. Anganku terbang, menggariskan beberapa
alibi bahwa kau telah dikecewai. Entahlah oleh siapa, karena apa, di mana, atau
kapan. Masa bodoh menurutku jawabnya. Yang jelas, kau begitu sakit dibuat
Bajingan itu. Hingga taklid. Hingga mobil ini berhenti, dan kita terjaga
menghempaskan mimpi.
Kita akhirnya turun, dan mulai mencari
spot di sudut ruangan untuk bercengkrama. Remang yang sedikit sepi, hembusan
angin, serta dua jiwa kesepian layaknya sangat serasi untuk mengulum berbagai
kenang malam ini. Pelayan, seringkali penyebab segala obrolan terputus. Bahkan,
ketika aku hendak memintamu untuk bermalam, pelayan itu datang, menebarkan
kicau produk picisan untuk ditawarkan. Persetan!
Akhir kata, Bajingan itu, hanya akan
menjadi momok bagimu. Tak apa. Asalkan denganku, kau tak berontak memberikan
isyarat ataupun gelisah. Sungguh kuperbolehkan kau memiliki musuh, atau juga
dendam terhadap seseorang. Bukankah manusia memang diciptakan dengan amarah
yang menjadi-jadi. Meletup-letup. Hingga tak sadar jikalau dengan tangannya
sendiri, buah hati mampu ditikam dan dimasukkan dalam kantong-kantong goni.
Kantong itu, kelak akan disebar di beberapa aliran kali. Hanyut. Bermuara pada
laut yang mulai murung menyusun kembali potongan-potongan tubuh yang tak
lengkap. Perlahan, ketika dia berpaling, terdengar bunyi rintihan dari balik
deras air. “Ah, hanya halusinasi saja”, pungkasnya.
***
KAU mulai muak memicingkan mata. Duduk
pun sudah enggan rasa nikmatnya dijamah. Kakimu, sedari tadi tiada henti
mengubah bentuk sila. Barang semenit kaki kiri di atas, sesaat kemudian
berganti yang lain. Tampaknya, wajahmu mulai tak tenang. Kau pun agaknya bosan
menyaksi pemandangan-pemandangan murahan di jalan itu.
Dari lekukmu duduk, tergambar jelas
beberapa pemuda dengan kaos hitam tengah bersandar pada dinding-dinding lusuh
untuk sekadar membagi tawa dan derita. Mereka, kau terka tak bermodal banyak,
hingga mau-tak-mau menghabiskan malam sejajar dengan peminta-minta; beralaskan
aspal yang dingin sehabis hujan.
Tak jauh dari sana, sibuk beberapa kru
fotografer yang tengah menyiapkan segala keperluan. Mulai dari penata rias, lighting, sampai pengarah gaya, tumpah
menjadi satu menginginkan momen terindah. Ya, di sini memang cukup apik apabila
dijadikan latar memori spesial. Atau sekadar untuk menghias kenangan, yang
lamat-lamat nantinya juga ingin dilupakan. Model foto itu, kau lihat tinggi jenjang,
ayu, dan langsing. Bajunya pun cukup memesona. Kau tak habis pikir, bagaimana
mungkin di malam sedingin ini, dia rela menguapkan kaki-kaki jenjangnya, hanya
untuk sebuah bayaran yang akan tak bersisa, apabila ditukar dengan segelas
pengundang dahaga.
Dua orang menghampirimu. Satu lelaki,
dan seorang wanita berkerudung jingga berkacamata. Sang lelaki membuka
pembicaraan, berkata panjang lebar yang ujung-ujungnya meminta uang untuk
ditukar setangkai mawar putih, merah, atau ungu. Sesekali mereka menggoda,
untuk agar kau merogoh saku memberikan rupiah kepadanya. Tapi, kau tak butuh
mawar malam ini. Kekasihmu tak suka bunga bertangkai yang sendirian. Dia hanya
menginginkan lesungmu, ketika membangunkannya sebelum subuh.
Langkahmu akhirnya melayang, menuju minimarket tak berlogo sendirian. Kau mencari-cari sesuatu yang hendak kau beli. Cukup lama kau memutari bilik-bilik dagangannya. Tanpa tujuan. Pegawai toko yang sedari tadi berdiri di pojok, turut serta memperhatikan gerikmu. Pikirnya, kau hanya salah satu bagian sindikat penguntil yang masih amatir. Belum cekatan seperti senior-seniornya. Muak dimata-matai, lantas kau segera mengambil minuman ringan di balik almari pendingin di dekat kasir. Kau bayar, dan pergi sambil mengutuk benci pegawai sialan itu.
Ah, bangkumu tak kosong lagi. Tak ada
tempat berteduh dari segala bosan dalam penantian. Sudah tiga puluh menit lebih
dia tak datang. Tak pula menyelipkan kabar entah ke mana. Sembari berdiri,
anganmu mulai meronta, berpikir ini-itu tentangnya.
Kau berpikir bahwa dia kini tengah
mengalami kecelakaan hebat di jalanan dekat rumahnya. Alibi terkena karma, dia
bersimbah darah, berlumer nanah. Kacamata silindrisnya pecah, beberapa beling
pun masuk merobek kornea. Dia mengerang menahan taklid, sambil memegangi sebelah
mata yang tak bisa lagi mencerna. Rambutnya yang ikal pendek, kini cokelat dan
berpasir. Bersebab menggulingkan diri pada jalanan, sebelum moncong mobil
mengenai pembatas jalan. Oh, dia pun akan lupa tentang warna kemeja biru muda
kesukaannya, yang biasa dia pakai kala bertemu denganmu. Pantofel hitam mengilatnya juga kau kira tak berhasil memantulkan
berkas lagi, lebam di sana-sini. Terakhir, barangkali namanya, Untung, juga
harusnya diganti, Buntung, ketika tahu, kakinya harus diamputasi gara-gara kecelakaan
tadi.
***
ITU hanya mimpimu. Untung datang,
terlambat barang sejam. Dia masih memakai Fortuner
abu-abunya. Lengkap dengan kacamata silindris, kemeja biru muda, sepatu Pantofel hitam, dan rambut ikal pendek
yang disisir rapi.
Dia menjemputmu di pinggiran Braga.
Kau, entah mengapa begitu terburu memasuki mobilnya. Tergesa. Seakan hendak
menghindari bertatap dengan seseorang. Sepertinya, atau sudah amat pasti, kau
telah mengetahui keberadaanku, yang duduk sedari tadi di kedai kopi tua berkaca
tepat di depan kau duduk-berdiri. Aku mengamatimu dengan seksama. Aku melucuti segala
dandananmu sekarang, bertambah dewasa. Kaos V-neck
berwarna cokelat, dipadu jaket jeans biru tua, celana Chino tak sebegitu ketat, serta sepatu kulit hitam yang sangat
lelaki. Elegan, bukan? Siapa yang mengajarimu bersolek kini?
***
SEBENARNYA, akulah Bajingan itu.
Akulah orang yang tengah menghadiahkan kelam terperih untuknya. Ketika aku
lebih memilih isteriku dibanding dia. Amarahnya memuncak, seperti hendak
membunuhku seketika. Itulah buncah terbesar dalam hidupnya. Dan sungguh, aku
dahulu tak berdaya oleh cakap suaranya sembari berbincang lama. Mulut Johan,
mulutnya, sangatlah padu meliuk-liukkan lidah mewujud kata. Barangkali, sesiapa
akan tergoda dan menyerahkan segalanya. Tak terkecuali aku.
Namun, wajah isteriku melayang,
memintaku pulang. Aku meninggalkan Johan setelah bertengkar hebat. Kupatri dia
di persimpangan jalan lengkap beserta kehidupan malamnya yang menyimpang. Dalam
batinku, lirih berbisik, aku kembali.
Tapi kini, entahlah, aku cukup
merindukannya. Inikah racun yang dibungkus rapi serupa kado? Kado untuk Johan
dariku, maaf, aku rindu...
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini