“Entahlah...”
Barangkali, itulah kata yang tepat
untuk melukiskan, ketika kau memintaku mengguratmu dalam pena. Jujur, aku tak
seberapa mengenalmu. Atau juga sama sekali tak tahu akan apa yang melekat di
balik senyummu. Kau, hanya kuterka sedang bergiat menuntut ilmu di sini. Di
kampung kecil yang tersohor bersebab lika-liku bahasanya.
Pada sebuah pagi, kau mewujudkan
rautmu. Ada ragu. Ada yang kian berseru. Mengangkat tinggi-tinggi langkahmu
memasuki kelas. Tiada yang tahu siapa kau? Siapa kita? Siapa mereka? Karena, kau,
aku, atau mereka ialah hanya berkas-berkas baru yang belum pernah bertemu sebelumnya.
Untuknya, sila perkenalkan namamu selekasnya...
“Namaku Tiara, asal kota B, dan tengah
merintih studi di bangku universitas,” pungkasmu, sementara yang lain gemar
memerhati.
“Aih, masih bocah,” kataku menanggapi,
hanya saja aku berteriak dari dalam hati.
Kemudian, perjalanan belajar di kelas
berlangsung sebagaimana mestinya. Tak istimewa. Tak berwarna. Hanya ada
tawa-tawa kecil yang cenderung apabila diperhati, semakin tak renyah saja.
Tapi, inilah keluarga baru yang harus kau dan aku masuki. Ada belasan pasang
mata yang mau-tak-mau harus terkoneksi. Baiklah, marilah kita mencobanya.
***
“Ayo berhitung. Dari satu hingga empat,
dan kembali lagi ke satu. Lalu, silakan berkumpul sesuai kelompok kalian,”
sahut seorang tutor, yang dalam kesempatan ini berlaku sebagai pemimpin
komando.
Dan benar saja, hampir di setiap
kesempatan, kami selalu berada di kelompok yang sama. Kali waktu di kelompok
ganjil, atau genap, atau ganjil lagi, dan seterusnya. Tak mengapa, kami hanyalah
rekan untuk mengatasi segala permasalahan.
Yang terakhir ialah kelompok untuk
mewujudkan sebuah ide bisnis tak masuk akal. Kau, masih dengan lesungmu,
bergerak menuju sudut ruangan, tempat kelompok genap berangka dua digemakan.
“Ada ide? Mau buat perusahaan apa
kita?” terkaku, ketika seluruhnya meragu.
“Bagaimana kalau ini? Bagaimana kalau
itu? Aku rasa ini lebih mungkin. Aku pikir ini tak akan mungkin,” diskusi
berlangsung sangat alot. Maaf. Ini aku lebih-lebihkan, sebab kenyataannya, kami dengan
mudah mengatasinya. Cukup selembar kertas buram, corat-coret pena, dan bibir
yang pandai mengumbar kata, kami rasa lebih-lebih telah mengatasi semua. Lalu,
mulailah kami berimaji tentang sesuatu yang tak pasti, seperti halnya pelangi.
***
Hari ini, kelas di periode terakhir
pertemuan. Kertas putih bertebal tiga milimeter dibagikan. Berlogo hitam,
dengan huruf-huruf tebal pertanda identitas. Kami mengeluarkan spidol, serta
ballpoint warna-warni. Atau lebih tepatnya hitam, biru, dan jingga sebagai
tintaku. Mulailah kertas itu diputar berlawanan arah jarum jam. Setiap insan
menuliskan: nama, asal, kontak, alamat media sosial, serta guratan pesan dan kesan tentang pribadi masing-masing sebagai inti dari ini semua.
Adakah hanya berdurasi dua pekan
lantas kita telah lihai menilai pribadi seseorang? Bukankah untuk orang yang
kita suka, benar-benar kita kagumi, bahkan berbulan pun belum mampu kita
menyelami dalamnya sebuah pribadi? Maka, kita hanya menggurat kata-kata indah
agar tak menaruh benci. Ada frasa-frasa tak berdasar di sini. Semacam “kamu
orangnya baik”, “kamu orangnya pintar”, “kamu orangnya ramah”, dan sebagainya.
Bahkan, ketika sang penulis ditanyai tentang nama orang yang dikomentari, boleh
jadi dia sama sekali tak mengetahui. Oh, inilah yang dinamakan dusta yang
terpuji.
“Asik,
kakak yang satu ini tuh TOP banget deh, baik, ramah, langsung nyambung, pinter,
writter juga, wah keren. Kapan-kapan bikin cerita tentang aku ya. Haha. Sukses
ya, Kak, buat kuliah dan karirnya. Remember me...”
Ini testimonimu, masihkah kau
mengingatnya? Jawabnya pasti ragu. Tak mengapa. Sebab, kau hanya diberi jengkal
menit untuk menulis. Sementara logikamu, masih saja berjuang mendominasikan
rasa. Ketika kau minta dibuatkan seberkas naskah. Ingatlah, aku takkan segan-segan
lekas mewujudnya nyata.
Kata “kapan-kapan” atau “suatu hari
nanti” adalah dua frasa untuk melukiskan mimpi yang tak pernah sampai. Maka
darinya, “kapan-kapanmu” itu, bolehkah kuhapus? Bolehkah kutebus dengan selarik
karangan yang sumbang ini. Sila kau membacanya. Sila kau mengapresiasinya.
Ketika kau sampai pada akhir, ingatlah, ada kata-kata yang masih aku tak
mengerti: Entahlah...
(IPM)
Pare,
Juli 2013
Cerpen Pesanan