Kalau aku udah gede...
Aku pingin kerja di Multinational Company. Aku mau kerja di
gedung tinggi. Ngomong English setiap
hari. Rambut klimis, sepatu mengkilat kaya orang penting. Tapi ngerjain kerjaan
yang kurang penting, jadi tukang fotokopi, bawain laptop, beres-beres kertas. Enggak
masalah kerja 15 jam sehari, tidur cuma 5 jam sehari, masalahnya gaji cuma
tahan sampai tanggal 15. Untung di warteg bisa makan dulu, bayar belakangan,
tapi sayang, enggak berlaku untuk beli pulsa. Jadi orang gede menyenangkan tapi susah dijalanin.
(Versi lelaki).
Kalau aku udah gede...
Aku mau jadi eksmud. Mau Jadi bos.
Hari-hari ngomong campur Bahasa Inggris. Tiap Jumat pulang kantor nongkrong
bareng sesama eksmud ngomongin proyek besar, biar kelihatan sukses. Suara agak
digedein biar kedengaran cewek di meja sebelah. Kalau weekend sarapan di kafe
sambil sibuk laptopan, pesen kopi secangkir harga 40rb-an, minumnya pelan-pelan
biar tahan sampai siang demi wi-fi
gratis. Kalau tanggal tua pagi siang malam makan nya mie instan. Kalau mau
nelpon bisanya cuma miscall. Jadi orang gede menyenangkan tapi
susah di jalanin. (Versi perempuan).
Beberapa kalimat di atas menurutku ‘mengena’.
Terlagi bagi mereka, atau kita, yang tengah menitih lembar-lembar usia menuju
dewasa. Sedari kecil, beberapa bercita agar segera menjadi matang, ajeg pada pendirian. Tetapi, pernahkah
kita sadar, bahwasanya menjadi dewasa ialah bukan sebuah impian, melainkan
pilihan.
Ya, pilihan. Kalau tak percaya,
tinggal tengok saja sekelilingmu. Berapa dari benak manusia itu yang masih
manja dan tak mandiri bila disandingkan dengan nominal usianya? Berapa pula
dari batang hidung mereka yang belum bisa lurus tegak berdiri? Masih banyak,
bukan?
Lalu, bagaimana cara menjadi dewasa
tanpa melibatkan susah? Tak banyak cara. Barangkali, dulu harusnya kau lihai
memilih untuk dilahirkan pada sebuah keluarga yang kaya raya. Dengan begitu,
dari tangis kecilmu, hingga pelaminanmu, takkan pernah kau rasakan apa itu
dahaga dan lapar karena kekurangan. Atau, mulai sekarang, kau harus mewujudkan
diri agar beredar menemukan pasangan yang tak menuntutmu menjadi lebih baik.
Pasangan yang menerimamu apa adanya. Oh, siapa dia? Pasangan yang seadanya.
Lantas, kau, atau juga aku, mulai berpikir dua kali untuk menjadi dewasa. Tak
apa. Dengan ini, kau akan tahu, apa itu menua, serta apa itu dewasa.
Kita tak pernah dewasa. Oh, tidakkah
aku salah?
(IPM)
Bandung, Juli 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini