Setahun lalu, kau masih
mengingat segala kenangmu. Kau pun kian hapal dan semakin tak sanggup melupa di
luar kepala tentang segala rautnya.
Dia, berpuluh minggu ke
belakang pernah memakai tudung bercoraknya. Anggun nian katamu, dipadu dengan kaos
lengan panjang berwarna merah muda. Tentu tanpa gincu, tanpa maskara, atau
bedak perias yang menopengkan rona. Dia cantik, tanpa hiasan apa-apa.
Kau, masih menatap
perempatan jalan. Kau, kuterka sedang menanti kedatangan seseorang. Padahal,
jumlah undangan telah hampir lengkap. Hanya bersisa satu, atau dua. Namun, kau
belum mau berpaling. Tetap menatap jalan kosong yang berlalu lalang butiran
dahan dan debu. Tanpa sosoknya, yang amat kau tunggu.
Kali ini, tanda perhelatan
acara benar-benar dimulai. Kau, mulai hilang harapan. "Dia tak datang
tahun ini," sergahmu menyesali. Namun, sebelum kau tutup kalimat itu
dengan titik, dia datang melempar salam.
Kau menengok. Mendongak.
Lama sekali jeda kedipmu dari satu momen ke yang lain. Kau, seakan terhisap
masuk ke auranya. Tak peduli tentang hangat makananmu di tangan. Masa bodoh
pula dengan dingin air kelapa di depan naungan. Kau hanya terdiam. Sejenak,
kutahu benar anganmu terbang.
Ke mana ia pergi? Kembali ke
masa itukah? Ke periode di mana kau bebas menatapnya setiap pagi, sambil
berpura memerhatikan mading lusuh tak berinformasi. Atau, kau sengaja
melambatkan memarkirkan motormu, menunggunya berkilah dari kendaraan merah
miliknya. Atau, di suatu puncak hari pembelajaranmu, kau diam-diam memberanikan
diri untuk meminta foto bersamanya. Satu jepretan. Tetapi, potret raut kalian
berada padanya. Kau tak sanggup meminta. "Jangan disaksi di dunia maya
ya," pintanya, sebelum hilang kenang itu ditelan waktu.
Kau ingin sekali menyelinap
ke rumahnya. Mencari memoria kalian. Bukan untuk dipajang. Bukan untuk pemanis
ruangan. Tetapi untukmu sendiri, sebagai penghibur di kala sepi. "Aih, itu
hanya keinginan, tak berujung pada kenyataan," kau cepat menyanggah.
Di hari yang lain, kau
pernah berangan ingin berkunjung ke gubuknya. Kau luapkan rasamu untuk
menatapnya selama mungkin. Sampai dia sadar. Hingga dia berpaling, menyeruakkan
wajah merah malu. Tetapi, keyakinanmu membangun sebuah palung. Bukankah tatapmu
itu ialah rugi yang teramat sangat? Bukankah hakmu belum sampai pada tahap itu?
Kau terdiam.
Rasa suka, kagum, cinta
secara diam-diam akan tetap seperti itu tak berubah. Tak perlu kau menghibur
diri untuk mencari celah mengungkapkannya. Kala dia mau, apa kau telah sanggup
menerimanya utuh? Mana wibawamu sebagai lelaki? Sudahkah kau menjamin hidupnya
bahagia hingga nanti? Maka, kau berdiam lagi.
Kau, semakin rajin kukira.
Kau, semakin mengerti apa itu jatuh cinta. Kau, semakin memantaskan diri agar
sejajar apabila Tuhan datang memberikan kabar gembira. Di akhir, kau selalu
meyakini bahwasanya dia memang hanya teruntukmu, dan sebaliknya.
Kini, tinggal selangkah lagi
kau menapak ke rumahnya. Tak ada mawar. Tak ada bingkisan kado. Tak ada cincin
perak atau platina. Tak ada senyuman dari kedua orang tuamu. Hanya ada kau.
Lengkap dengan setelan kemeja kotak biru cerah berpadu putih. Kau takzimkan
bercelana jeans sebagai padanan kasual. Kau berjalan masuk, menyapanya, beserta
yang lain. Sekali lagi, dia tak menaruh curiga. Tetap tersenyum kepada semua.
Inilah momen yang tunggu.
Kau memerhati setiap jengkal rumah itu. Atap sesek dari bambu, ubin
berwarna coklat, serta dia dengan busana putihnya. Kau berusaha mengisi memori,
sebagai bekal apabila tak bisa bertemu dengannya lagi. Lamat-lamat, kau mulai
merasa cukup. Harapmu lelah, tak kuasa menghelah. Dalam diam kau berdoa,
"Terima kasih Tuhan atas hari ini. Semoga lima tahun lagi aku dapat
kembali ke mari, dengan tujuan tertentu, meminangmu bersama orang
tuaku..."
***
Matamu masih memejam. Kau
masih bersedekap, menghadap ke sisi kanan. Seorang wanita membisikkan sebuah
kalimat di telingamu, "Mari bangun, Sayang. Mari ambil air wudlu, dan kita
tunaikan shalat Tahajjud malam ini..." Kau terbangun seketika, kau kecup
keningnya yang telah terbasuh basah.
Tanganmu kembali menengadah.
Kali ini, doamu berujung pada ijabah. Kau bersungguh memuja Tuhanmu. Menangis.
Bukan bersebab sedih, melainkan suka hati. Kala kau tahu dia tengah mengandung
janinmu, kau semakin mengerti bagaimana menjadi seorang lelaki, ayah, sekaligus
suami.
***
Indah, bukan? Itulah kisah
ayah-ibu dulu, ketika berjuang mempertemukan benihnya untukku. Namaku Amira,
anak kedua mereka yang masih belajar di bangku sekolah dasar.
Ibu, Ayah, ini kado dariku:
Selamat hari jadi perkawinan ke sepuluh! Aku sayang Ibu-Ayah!
(IPM)
Surabaya, Juli 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini