Hari
ini, aku menyaksimu tiga kali dalam pejam.
Pejam pertama, aku mencatat segala
bentuk siluetmu yang terbata. Garismu patah-patah, tapi kujamin tetap kian
memesona. Kamu, dengan sempurna menyadarkanku bahwa Tuhan senantiasa mencipta
hal-hal indah. Selaksa dirimu, salah satu alasan mengapa aku tak perlu kafein,
atau nikotin, untuk tetap terjaga sepanjang malam. Cukup berimaji seraya kau
mendampingi, sembari memejam sesekali, maka hampir pasti di setiap inti detik
dalam hari itu masih ada aku, yang bermata menjagamu.
Pejam kedua, aku menjadi satu-satunya lelaki
bukan dari keluargamu yang berkenan menggurat indahmu utuh. Entahlah, aku
sebenarnya tak percaya akan apa itu makna bunga tidur. Akan tetapi, pejamku
tadi, menguakkan sketsamu tanpa cacat. Lengkap, dengan gerai panjang rambutmu
yang menyingkap kala tertiup angin gelombang. Kau tahu, tak mungkin aku
melakukan itu dalam nyata. Perangaimu rapat kau tutupi, sendiri. Dan sesiapa kauterka
tak sanggup menikmati. Kecuali kelak, saat ada tangan seseorang yang berjabat
dengan jemari ayahmu, sembari mengucap janji di atas kitab agamamu yang suci. Kau
tahu, sungguh kuharap orang itu mewujud aku.
Pejam ketiga, aku belum berkata apa-apa
padamu. Nyatanya, aku hanya memejam dalam diam. Aku khawatir ketika aku
mengutarakan semua, justru kamu akan menolak perasaan ini dan pergi. Atau, aku
terlalu takut kamu akan menerima, sedang aku belum mempersiapkan segalanya agar
kau senantiasa bahagia. Kita masih di sini, bukan? Aku, kau, belum menjadi
apapun di dunia. Masih 'kencur', masih tak pantas disebut dewasa. Maka,
perkenankanku memantaskan diri mendahuluimu. Aku mau kau bangga, punya kekasih
yang berjuang keras mendapatkan ratunya: kau, Tya.
Biarkan aku berkarya untukmu sekali
lagi. Tenanglah, aku tak pernah lelah. Dan aku mengharap kau demikian sama di
sana: duduk memejam, menanti aku datang.
Aku
janji takkan lama. Oh padamu, pernahkah aku berdusta?
(IPM)
Surabaya, Agustus 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini