Sebenarnya, cukup sulit untuk
menentukan mana tanggal yang pas untuk mengadakan buka bersama tahun ini.
Berbagai alibi dan alasan selalu menyeruak keluar: aku ada kerja praktik, aku
akan pergi ke luar negeri, aku akan ini, dan itu, serta ini lagi. Ya, semakin
dewasa, memang semakin rumit menyocokkan waktu untuk bersua, terlagi demi
kelengkapan anggota.
Akhirnya, acara ditetapkan 2 Agustus
sore di rumah Ade. Cukup dekat dari gedung sekolah dulu. Hanya perlu berkelok
dan seterusnya lurus. Berdua puluh satu orang kami berangkat. Menemui wajah
lain yang ingin kami anggap. Banyak sekali tanya yang bakal dilempar apabila
ada waktu atau kesempatan. Namun ego, malu, serta gengsi membuatnya kaku dan
diam sunyi. Perlu ice-breaker untuk
mencairkan suasana. Maka, panggil aku: Tukang Cerita.
***
Rumah Ade sudah terbuka untuk kami.
Berwarna krem berhias kayu-kayu coklat. Di depan, tampak beberapa rekan yang
telah datang mendahului. Dan, sang tuan rumah, sudah menyapa dari bilik sisi.
Berbusana ungu, lengkap dengan lesung senyum. Tetapi, entahlah, hampir
mayoritas teman wanita memakai baju berwarna ungu. Janjian, atau hanya
kebetulan, aku tak mempersoalkan. Aku kira, kalian masih kompak, Kawan! Salut!
Harusnya, sedari jam 16.30 kami sudah
berada di sana. Tetapi, mental anak Indonesia masih saja dipeluk erat. Budaya
telat dan menunggu menjadi hidangan sebelum berbuka. Bersabarlah, yang indah
akan terasa istimewa pada waktunya. Lalu, aku hanya menunggu satu demi satu.
Hingga lengkap. Sampai siap untuk berangkat.
Satu langkahku menyapu ubin rumahnya,
suara adzan keras berkumandang. Alhamdulillah. Seketika, air putih kemasan
gelas dicari, ingin segera mengakhiri puasa hari ini. Dan setelahnya akan ada
lingkaran besar sebagai sambutan dan pembuka acara. Sambil menikmati ta’jil,
sambil menyesap lesung pipi, sambil berkabar tentang bagaimana kau menjalani
hidup setahun ke belakang.
Beberapa paragraf di atas bukanlah
point mengapa aku bercerita kali ini. Sebab, itu hanya kronologi, belum
ditambah arti agar tetap menjadi memori. Maka, setelah shalat maghrib, ba’da
makan berat, dan selesai beribadah tarawih, acara sebenar-benarnya dihelat.
Kalian sudah siap?
***
Aku dan Jem dihelat sebagai
moderator dadakan, agar acara ini tetap berjalan sebagai mana mestinya. Bukan
acara serius, tetapi cuma bertujuan mengakrabkan. Kami sebut ia “Truth or Truth and Must be Truth.”
Peraturannya singkat dan jelas, kami mengacak sesiapa untuk ditanyai, dan yang
bersangkutan wajib menjawabnya dengan jujur. Apapun. Tetapi ditetapkan pula
sebatas 3 butir pertanyaan. Tidak lain agar semua kebagian giliran.
Tak perlu menyebutkan nama di sini.
Tak ada identitas atau apapun. Sebab, segalanya hanya boleh diungkap di sana.
Di lain waktu, harus bertingkah seperti dahulu. Tanpa rasa canggung atau malu.
Pertanyaan wajib pertama untuk kami yang tengah bersiap menuju dewasa adalah:
Sebutkan 5 kriteria calon pasangan yang sangat kalian dambakan!
Lelaki pertama, menjawab dengan
terbata. Sepertinya masih berpikir setengah mati tentang tujuan akhirnya. “Kau
perlu mempelajari arah hidupmu, Sob. Tetapkan dan targetkan!” saranku dalam
hati.
Lelaki kedua, berujar tentang pasangan
yang ia mau seperti ini-ini-ini-dan-itu. Dia juga bercerita tentang target
hidupnya selama 5 tahun ke depan. Harus sudah ini-ini-ini-dan-itu. Wah, sungguh
jelas jalan hidupnya. Hanya perlu direalisasi. Sebab rencana hanya berperan 30%
saja, sisanya yakni tindakan.
Perempuan pertama, beralibi bahwa
lelaki idamannya harus baik, seiman, mampu menjadi imam, perhatian, dan
menerima dia “apa adanya”. Oh, ada
yang sedikit mengganjal tentang makna “apa
adanya” di sana. Aku ingin menjelaskan tentang hal tersebut, tetapi nanti
saat giliranku tiba.
Lalu lelaki ketiga dan perempuan
kedua, yang condong lebih monoton dari sebelumnya. Sebab, belum ada kejujuran
di sini. Bukankah terkadang keinginan dan harapan harus senantiasa dibagi? Tak
perlu bermuram malu apabila mau. Cukup jadikan dirimu sebagaimana dirimu. Everyone is beautiful and handsome, right?
Jam dinding hendak berlaku menuju
angka sembilan dan dua belas. Lima menit lagi aku harus pamitan. Mengapa?
Sebab, aku harus pulang ke rumah, yang jarak tempuhnya paling cepat 1,5 jam
lamanya. Namun, aku ingin bersuara. Semoga giliran berikutnya adalah aku.
Semoga.
Tuhan menjawab keinginan setiap
makhluknya. Undian itu mengacu ke arahku, dan langsung saja sebilah pertanyaan
wajib dilontarkan. Maka, mau-tak-mau harus aku menjelaskan. “Dham, apa saja 5 kriteria
yang kau dambakan untuk jadi isterimu nanti?” pungkas moderator.
“Pertama,
aku sangat ingin dia seiman, juga berhijab. Sebab, aku akan bertanggungjawab
kepada segala tingkahnya. Maka, bukankah yang seiman saja terkadang goyah,
apalagi yang berbeda?
Kedua,
aku mendambakan dia yang pintar. Seorang wanita pintar akan tahu bagaimana
memposisikan diri menjadi isteri, juga bagaimana mendidik anak-anak kami nanti.
Ketiga,
tentu yang ‘nyambung’. Sebenarnya, aku tidak setuju akan kata-kata “Tak kenal,
maka tak sayang.” Ya, harusnya diganti “Tak nyambung, maka tak sayang.” Sebab,
banyak sekali orang saling mengenal tetapi tidak saling jatuh cinta atau
tertarik. Bukan karena apa, hanya saja mereka tidak saling terkoneksi, alias ga
nyambung.
Keempat,
aku lebih menyukai dia yang gemar ‘menuntut’. Maknanya, dia menginginkan sebuah
perubahan menuju arah lebih baik. Bukan malah mencintai pasangan dengan apa
adanya, melainkan mendorong pasangan untuk berbuat dan berbuat demi
keluarganya. Oh, bukankah lelaki akan maksimal apabila dituntut untuk maju? Di
situ point-nya.
Terakhir,
kelima, aku mencintai dia yang keibuan. Bisa ngemong, tidak buru-buru bertindak
ceroboh, dan ya, seperti seorang ibu yang memiliki anak, meski belum pernah dia
mengalaminya.”
Ya Tuhan, kalau ada wanita yang
seperti itu. Mohon pantaskan aku untuknya. Jaga dia hingga aku siap meminangnya.
Jika aku telah memilih satu, maka tetapkanlah. Jika benar, restukanlah. Jika
salah, maka gantilah dengan yang sesuai dengan kepantasanku.
“Dham, mana yang kau pilih, perempuan
sederhana atau yang mewah?” tiba-tiba pertanyaan kedua dilontarkan.
“Lelaki
yang menganggap cewe matre biasanya cenderung stress pada penghasilannya.
Lelaki sukses, santai menghadapinya. Tetapi, dia cukup cerdas untuk
menghindarinya. Pada dasarnya lelaki suka yang simple, sederhana, dan tidak
neko-neko. Namun, kembali lagi suka wanita pintar, wanita sederhana yang
terlihat mewah karena inner beauty-nya.”
“Kalian itu, kayak gitu dong kalau
menjawab pertanyaan. Terbuka dan apa adanya. Good job, Dham!” celetuk salah
satu teman perempuanku.
Permainan tidak dilanjutkan. Aku pun
pamit. Sesi foto dipercepat untuk menghargai kepulanganku. Maka, beberapa poin
yang aku dapat dari buka bersama kali ini, yakni: Ada waktu setahun untuk membuat seseorang berbeda 180 derajat dari pertemuan terakhirnya bersama kita. Serta, ada waktu setahun untuk menetapkan seseorang sama sekali tak berubah dari pertemuan terakhirnya bersama kita.
Semakin bersemangat memperbaiki diri.
Bukan untuk siapa-siapa. Melainkan untukku, untukmu, dan nantinya untuk kita.
Amin. Semangat!
(IPM)
Sidoarjo-Surabaya,
Agustus 2013