Aku bertanya kepadamu, "Siapa yang pertama merancang
pertemuan ini? Akukah, atau kamulah?"
Kamu lantas tersenyum getir, seakan tak ingin menjawab
pertanyaan retoris ini. Wajahmu, kini kau arahkan ke rinai tanah, menutupi
pandang yang sedari tadi kami saling tatap.
"Kau sedang bertanya? Untuk apa?" ujarmu,
sependek perjamuan kami, kau menimpali.
Sebenarnya, aku tak mengerti akan tujuan terkaan tadi.
Kalimat usang, hanya menggelontor tanpa rem dari bibir beremosi. Kadang, orang
marah memang lebih mirip orang gila. Tanpa kendali arah.
Kamu masih terduduk, meringkuk sambil sesekali bersandar
pasif. Kita, barangkali kini hanyalah sisa-sisa putus asa. Dikecewai keadaan,
dibakar omongan orang.
Satu ketika, aku mendengar namamu digunjing oleh sesiapa.
Mereka berkisah tentang tanganmu yang rela memagut lengan lain lelaki. Erat.
Hampir kau tak mau melepaskan. Sayangnya, mataku tak sempat merekammu. Maka,
aku berpura tak percayai itu.
Hari yang lain, kau pernah menusukku dengan hujaman
membagi hati. Kau berkilah, bahwa aku berbincang mesra dengan seorang gadis
rupawan lewat surat elektronik. Kujelaskan, dia hanyalah rekan karib biasa. Tak
lebih. Lambat saja, kau mulai mencerna alibiku akannya.
Tengah Mei puncak kekalutan kami. Kau, mengobrak-abrik
isi rumah. Tanpa sebab. Sebenarnya, pasti ada api untuk mengawali kepul asap.
Namun, kau tak menjawab. Hanya meluapkan amarah kepada seisi rumah, perabot,
lukisan, hingga raga lelahku karena menahan tingkahmu.
Rasanya, banyak sekali hari-hari lain tentang bermacam cerita.
"Kau masih mau berkisah?"
"Tak perlu. Lebih baik kita pendam dalam diam,"
sergahmu, menolak halus pintaku, "Oh ya, sekarang jam berapa?"
"Delapan malam."
"Baik. Mari minta bill-nya, kita bayar masing-masing, dan jemput anakmu di rumahku. Ingat,
kau hanya boleh membawanya seminggu! Setelahnya, aku akan ambil dia dari kau
dan calon istri barumu."
"Silakan. Aku hanya ingin mengenalkannya pada Rena,
calon ibu tirinya..."
"Aku ibunya! Aku yang pantas mendapat hak
asuhnya!"
Peradilan masih belum memutuskan hak asuh anak semata
wayang kami. Kau, aku, seperti seekor kucing dan anjing. Tak pernah akur.
Namun lihatlah, hari ini kami kompak berbisik, "Kasihan
ya Ramona... dia gemar menyendiri akhir-akhir ini. Dia, kini lebih pasi dari
sekerat roti. Oh ya, apa lebih baik diakhirkan saja perseteruhan kita ini? Aku
rasa, aku ingin kembali."
"Maaf. Tetap ceraikan aku, Sayang. Aku tak mau kauduakan..."
(IPM)
Surabaya,
Agustus 2013