Kau masih melangkah, terus berjalan
tak kenal arah. Sesekali berputar, sembari menghela napas yang kian gemetar.
Gurun gersang, hingga ilalang kau arungi. Sendiri.
“Mencari yang lebih baik,” katamu
lekas, lesuh.
Secarik kalimat itu, sungguh berhari
menjadi kiblat bagimu. Perjalananmu kian tak berujung. Semakin ke dalam
belantara, semakin saja kau tak mengenal di mana rupa ujungnya. Kau pun lupa
membeda: mana tujuan, mana ketidakpuasan.
Selalu kau berujar bahwa dia tidak
cukup baik. Dalam anganmu, seperti ada konsep mengenai pendamping teringinmu.
Sayangnya, tak lama, senantiasa kau melahirkan kriteria baru.
Lalu, bukankah dulu kau pernah belajar
mengenai apa itu kehampaan? Tidakkah kau lebih paham, dibanding aku, tentang
analogi ketidaksempurnaan?
Kau, belum juga sadar jikalau yang
lebih baik itu semu. Dan dirimu sendiri yang senantiasa mengada-ada. Hampir pasti,
takkan pula pernah kau menemukan. Yang baik, ialah justru dia, dengan segala
ke-kuranglebih-annya.
Kau, lantas ingin berpaling kembali.
Sedang dia, telah amat kumengerti, telah menutup bagimu rapat-rapat pintu hati.
Denganmu, tak ingin dia bermesra lagi.
Pada senja lain, aku pernah berujar,
bertanyalah pada dirimu sendiri, “Oh, apakah kau telah mencari dengan cukup
jauh? Atau, bahkan terlampau jauh?”
Lelahmu membuncah. Tetapi terlambat,
momen dan memoria terlanjur tertambat. Rapat. Sejenak, kau merenungi takdir,
yang kau warnai dengan tintamu sendiri.
Kali waktu, perkenankan pula aku
berbincang dengan nadimu. Tentang kepantasan, perihal sudah cukup baikkah
dirimu untuk yang lebih baik? Akankah kau sengaja dipertemukan, dengan yang
lebih baik oleh Tuhan, apabila masih belum memenuhi kepantasan?
Maka, persiapkan dirimu untuk dia...
yang terbaik, setidaknya menurut nurani hatimu. Sebab, perkara hati, tidakkah
seorang pun, kecuali kau dan Tuhan, yang benar-benar tahu.
(IPM)
Surabaya,
Agustus 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini