Nona
manisku dalam bus kota bersambang kembali. Kali ini dia terlengkapi...
Tak perlulah maskara, atau
lipstik merah, atau gincu warna mencolok untuk menarik perhatian. Cukup dengan
kain penghalang mata, yang polos, yang dililit tanpa berantai gaya di mungil kepalanya.
Oh, bukankah benar jikalau lelaki selalu suka yang sederhana, seperti halnya
jatuh cinta?
Ya, tak salah lagi. Tidak
perlu cukup waktu untukmu mengundangku datang. Tanpa undangan, atau pamflet
informasi untuk sekadar mengetahui keberadaanmu. Cukuplah momentum, dan waktu,
yang menyedia kesempatan saling memagut kagum, serta jatuh cinta. Tentu saja,
ada yang berdehem pelan seraya mengawasi kita dari atas sana, Dia. Maka, tolong
perkenankan aku menjalani hari dengannya...
Setiap ranting hari menguak
tua dan lapuk menjadi ilalang di tepian jalan. Tak bertuan. Tak berpemilik,
seperti halnya hampa, boleh diambil oleh sesiapa. Seperti ilalang itu,
sangatlah kuharap hatimu merupa sama, tak berpemilik. Namun tenanglah, aku
jamin untuk kau sisakan aku atau sesiapa sedikit spasi saja. Selebihnya, dengan
Dia-lah yang berhak kau penuhi ruangmu. Aku sangat paham. Dan aku amat mengerti
bagaimana berbagi ruang dengan Tuhan. Akan tetapi, sungguh tak pasti apakah
seberkas sempit dalam hatimu itu sudih untuk kuisi. Segalanya masih abu-abu, penuh
ragu.
Kudekati kau perlahan.
Tetapi sigap selayaknya tupai yang tengah menanti kenari jatuh dari dahannya. Dan
kau masih di sana, menebar lesung pipit terbaikmu untuk yang menyapa. Sapaku
mewujud canda, menguap ketika aku pergi lekas. Harapku, semua akan berbekas,
dan tibalah kau pada perasaan rindu saat tak bertemu pemilik sapa itu, aku.
Apa yang lebih sakit dari
menanti ketidakpastian? Menanti yang pasti, akan tetapi teramat jelas akan
berakhir dengan agung pesakitan. Seolah tak sabar, aku gugup menanyakan. Sabarlah,
aku tak langsung menginterogasi. Dari bibir kawanmu, sahabatmu, orang
terdekatmu, berkata jikalau kau masih kian meragu menentukan hati. Mereka
bilang tak ada kesempatan, aku bilang ini peluang. Sejujurnya, aku tak cukup percaya
dengan bibir lain selain katamu. Kudiamkan saja semua, selaksa lolongan siang
gulita.
"Rita, bolehkah aku
bertanya tentangmu? Bolehkah aku tahu perihal dirimu? Bolehkah aku mengejar pesonamu
utuh? Aku menyukaimu..."
Dia hanya melukis senyum.
Tipis saja, membuat kantong mata ini semakin hitam melewati malam. Lama saja
kutahu jawabnya. Lambat benar hati ini mencerna. Oh, sebenarnya aku telah
menuliskan jawab itu di awal cerita. Namun, baru kini aku kuasa membacanya...
Nona
manisku dalam bus kota bersambang kembali. Kali ini dia terlengkapi... utuh,
milik seorang lain lelaki.
(IPM)
Surabaya, Agustus 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini