Sejujurnya, kau tahu apa tentang keadaanku? Kau tak
mengerti apa-apa tentang detak berirama menghentak ini. Detak yang tak teratur
berpacu melawan ketidakpastian.
Kamu pasti tidak mengira. Aku sungguh pernah menghujamkan
degup ini sebegitu kencangnya. Terlagi tepat di petang itu, kala kau tanpa
angin biasanya memanggil namaku secara benar. Tanpa salah eja, tanpa susunan
kata yang salah, sama sekali berbeda selaksa posisi kita.
Aku, dengan lebih cekatan ketimbang prajurit perang yang
menerima panggilan apel tiba-tiba langsung menghampiri, menanyakan apa,
mengorek sesuatu yang kuharap berbeda. Entah, kuasa apa dari semesta yang
membuat kau memalingkan pandang ke arahku. Sumpah, aku masih tak menahu.
Dan hampir benar adanya, aku masih saja penasaran akan
segala kabarmu, meski kutahu, aku telah terbiasa merekam segala tingkahmu dari
jauh. Lewat kemampuanku memahami tanpa kau ketahui. Diam-diam saja aku
melakukan. Takut kau terbangun, menyadari, serta melenggang pergi. Aku lihai
melakukan ini.
Lalu, kau menyiapkan kejutan lain untukku. Mungkinkah
untuk kita, yang akan menjadi nyata setelah kau ajak aku duduk saling tatap,
berdua di sini. Ya, tempat ini katamu ialah markas untuk kau menyampaikan suatu
hal penting nan pribadi. Sesaat, aku merasa lebih spesial dari minuman
penggugah stamina, lengkap dengan campuran dua butir telur burung angsa.
Aku masih bertanya-tanya perihal alasan apa yang
menggerakkanmu mengajakku ke mari. Tebakan demi tebakan menghujam setiap angan.
Terkaan demi terkaan saling mendahului membenarkan.
Tentu aku paham, jikalau meja makan dengan sepasang kursi
berhadapan sangat elegan untuk kau mengungkap rasa pada seseorang. Dua potong
lilin pun melengkapi, sama persis seperti keadaan yang kuimpikan selama ini,
tapi belum terealisasi.
Oh ya, bolehkah aku bertanya? Akankah dia yang akan kau
sambut rasanya mewujud diriku? Tolong beritahu sesegera. Lihat wajahku, aku
sedari tadi menahan degup jantung yang berdetak tak tentu arah, berulang kali
aku hampir pingsan dibuatnya.
Aku masih menunggumu untuk lebih dulu mengungkap perasaan,
akankah sama seperti yang aku rasakan? Kutatap, kau teramat gugup menata kata.
Dan sampailah kau mengabaikan malu seraya bibirmu yang merah mulai angkat
bicara.
"Aku menyukai sahabatmu. Bagaimana caranya agar aku
bisa dekat dengannya? Tolong bantu aku..."
Selepas mendengar permohonan itu, aku mulai gemar
berjalan sendirian melewati malam.
"Tuhan, tak seharusnya tadi malam aku penuhi
pintanya untuk datang..."
(IPM)
Surabaya,
Agustus 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini