Namun, itulah
perasaan. Kau takkan bisa memprediksi kapan ia tiba, kapan ia mengucap salam
pisah...
Apakah pernah kau mengalami? Ketika matamu telah lelah
menyaksi dunia, lantas berbekal silangan tangan di belakang kepala, kau
membaringkan tubuhmu. Dalam sunyi, kau menggelar bioskop maya di langit-langit
kamar. Episode malam ini ialah tentangmu, lengkap dengan visual tiga dimensi. Aku
berimaji akan rinai senyummu yang tiap hari menyapa, meski kutahu kepada semua
kau melakukannya. Namun, aku tetap merasa spesial dibuatnya. Tidakkah aku gila?
Sudahkah kau melakukan ini? Menggenggam setangkai bunga
mawar merah, memerhati kelopaknya, selanjutnya kuncup itu kaupetik satu per
satu sambil berucap pelan, "Telepon, nggak, telepon, nggak..." Ya,
hingga kuncup terakhir dan kau harus menerima keputusannya. Apabila yang
menyeruak ialah opsi 'telepon', artinya kau harus mengambil ponsel sembari
memetik nomornya. "Tuuttt... Tuuttt... Iya, halo, ini siapa?" Cepat
saja kau menutupnya, takut terdeteksi suaramu akannya. Tapi tenang, kau kali
ini menggunakan nomor pribadi, tak mungkin dia mengetahui. Kau tahu, aku tak
jarang melakukannya padamu. Hanya saja, kau belum menaruh curiga.
Akankah kau mengkhayalkan sebuah mimpi? Tak lama setelah
mengenalmu, aku seringkali menjelma menjadi sosok penulis skenario ulung. Tiap
hari, aku bahkan senantiasa merajut benang-benang mimpi menujumu. Berharap
suatu ketika, benang itu akan terkumpul merupa sepotong mantel, yang anggun
kaupakai saat dingin menerpa. Akan tetapi, mantel itu takkan pernah selesai
dirajut. Kau perhati, wujudnya kini lebih mirip benang kusut, yang kalut tanpa
penyelesai simpulnya. "Cinta itu harusnya selaksa dendam, bukan? Harus berbalas..."
Sedang kau hanya menghempas.
Tidakkah kau membayangkan? Bahwasanya ternyata, yang kau
kerjakan selama ini ialah hampir sama denganku. Kau, dengan lebih abu-abu juga bersikeras
menunaikan segalanya: menggelar bioskop maya di langit-langit kamar, mewujud
penelepon gelap tanpa detak suara, menjadi perajut sepotong mantel kisah, juga
hal lain yang enggan kaubagi ceritanya.
Kita, atau tidak lain masih kau dan aku, berusaha menjaga
jarak. Sama keras kepalanya, sama kokoh mempertahankan ego untuk lebih dulu
menyapa. Hingga kemudian kita benar-benar lupa dahulu pernah saling mengagumi.
Terlagi, aku bahkan tak menyangsi jikalau kau pernah memenuhi relung hati.
Kau pernah membuatku tak bisa membeda mana jatuh cinta,
mana terbuai karena rasa. Seluruhnya sama. Bahkan, kau sanggup merubah
paradigma bahwa hanya ada kau di hamparan luas bumi ini. Tak ada seorang lain.
Tiada manusia pembanding.
Lupanya seseorang bisa kembali diingatkan. Lantas, apakah
lupanya perasaan juga kuasa kembali ditumbuhkan? Oh, bagaimana jika rasa
khawatir tak bertemu itu datang lagi? Bagaimana kalau sebenarnya akulah seorang
yang sejati kaucintai? Kini, aku yang mematikan ego, mengharapmu menepuk
pundakku, untuk kemudian memalingkan ronamu pada mataku seraya berkata: Aku
juga rindu kamu.
Itu isi surat elektronikmu, lengkap saja, tak kububuhi
atau aku kurangi. Susunan alineamu baru sampai sekarang. Entah mampir dahulu,
kelayapan, dan lelah ketika sampai di tujuan.
Kau harus tahu, aku telah menyiapkan sepasang cincin
untuk kita. Polos saja, tanpa hiasan apa-apa. Kau suka tipe seperti itu, bukan?
Namun sayang, cincin itu telah berpemilik di jemari manis seseorang. Bukanmu,
melainkan sahabatmu, yang sifatnya mirip sekali sepertimu.
Nyatanya, aku masih belum bisa melupakanmu. Hanya saja,
suratmu tak sanggup tiba tepat waktu.
Sayang, aku punya satu pinta: Doakan aku bahagia
dengannya...
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini