Aku hanya membaca.
Lalu, aku ragu dan mengeja.
Sebenarnya, apa benar yang dilihatnya
adalah aku?
Yang utuh, yang sederhana, tanpa
topeng atau pemoles luka.
Aku sejenak berhenti.
Untuk singgah pada laman seorang putri.
Berkacamata. Bertudung corak bunga.
Kata-kata pun tumpah, membawa puji
dalam rinai sunyi.
“Maaf. Aku belum terlalu mengenalmu.
Aku hanya hadir, dalam imaji nun semu. Aku ada, atau pula masih fatamorgana...” katamu, terbata.
Tak mengapa.
Bukankah ‘tanda tanya’ seringkali
terlihat lebih indah?
Aku cuma lelaki.
Berhias majas, bermodal pena.
Akan tetapi, aku bisa melukismu.
“Ah, kau hanya bisa menulis, bukan
melukis...” pungkasmu, tak percaya.
Lihatlah...
Bukankah yang kulukis saat ini adalah perwujudan
dirimu?
Kau terdiam.
Lamat-lamat, kau membayangkan:
bagaimana bisa dia mengguratku lewat frasa?
Apresiasiku yang kedua.
Terima kasih, untuk yang tidak pernah
cukup.
–Tukang
Cerita–