Seseorang yang datang, selalu membawa
kabar dan menorehkan cerita. Seperti dia, Ayah, dengan gigih memberikan semua
makna yang ia punya. Seluruhnya dititipkan padaku, yang waktu itu masih berusia
belasan.
Ayah tahu benar bagaimana menjadi
lelaki. Darinya, aku mendapat beberapa rahasia hidup perihal tanggung jawab dan
bekerja keras. Aku sebegitu berterima kasih kepadanya, hingga saat ia
mengutusku untuk mengantarnya ke Stasiun Gubeng Surabaya, aku tak menolak. Aku
turuti, hingga bayangan Ayah hilang bersama bunyi klakson kereta.
Namun, sungguh bukan Ayah apabila
tidak menitipkan kejutan. Benar saja, di esok siang yang terik, Ibu mengutus
seseorang untuk menjemputku pulang bersama adik. “Ada apa?” batinku. Dan, sesap
itu terjawab ketika tenda ditambah beberapa bendera silang dikibarkan di
pelataran rumah. “Siapa yang tiada?” air mataku bertanya.
“Dham, Ayah pergi, karena jantung...”
nenekku berbisik, sambil memelukku erat, “Ibumu ke Jakarta, mengurus jenazah
Ayah.”
Aku hanya menangis. Sejenak berhenti.
Apabila teringat, biarlah air mata ini jatuh lagi.
***
Bagaimana
rasanya menjadi anak lelaki semata wayang dalam keluarga tanpa ayah? Ya, penuh tekanan dan harapan. Satu
sisi, aku depresi dengan status yatim di pikiranku. Lalu, sisi yang lain
menginginkanku menjadi sekuat baja menopang biduk ekonomi keluarga yang mandek. Bukan apa-apa, Ibu, dahulu hanya
seorang perawat rumah tangga, tidak bekerja, dan hanya mengandalkan kiriman
dari Ayah. Akan tetapi, Sang Pengirim itu telah pensiun memberikan nominalnya. Akankah kami kelaparan dan mati akibat kekhawatiran?
Jawabnya tidak. Aku, Ibu, dan adik
masih sehat hingga tujuh tahun pasca kepergian Ayah. Meski, beberapa keadaan
teramat berbeda. Tak ada lagi rumah yang dulu berubin persegi lebar, tak ada
lagi kereta kencana untuk bepergian, serta tak ada lagi barang-barang peninggalan
hasil kerja keras Ayah.
Semuanya ludes, terjual, dijual, atau
bahkan disita oleh lintah-lintah darat yang berkedok memberi bantuan. Lalu, bagaimana melanjutkan hidup seperti
ini?
Kami mulai berpindah-pindah alamat
setiap tahun. Dari bilik satu, mengontrak ke bilik lain apabila biaya sewa
naik. Dari usaha satu, beralih ke usaha lain apabila mengalami rugi atau sepi. Ya,
saat itu usiaku masih belasan tahun, dan Ibu mau tak mau mengutusku membantunya
mengais rupiah. Tapi tenang, kami tidak sampai mengemis. Kami masih punya harga
diri.
Saat di bangku SMP, berbagai
pengalaman hidup kujalani, yang tiada kutemui saat Ayah masih ada. Di sekolah,
aku sering kucing-kucingan dengan
penagih biaya bulanan, sebab pengajuan keringanan belum disetujui hingga
beberapa bulan lamanya. Pulang dari sekolah, aku buru-buru balik ke rumah,
bersepeda angin sejauh enam kilometer jauhnya. Dan setelah tiba, beberapa
pekerjaan mengantar sembako, kue, dan baju pesanan teman Ibu sudah menjadi
rutinitas. “Panas sekali di luar,” gerutuku, saat bulan puasa dan harus
mengantar barang. Maaf, latar cerita ini
bukan di Bandung yang sejuk, tetapi di Sidoarjo, sebuah kota terik dekat lokasi
lumpur Lapindo.
***
Singkat cerita, aku diterima di SMA
negeri favorit di sana. SBI pula. Dan setelah melalui seleksi panjang, aku
diberi kesempatan memperoleh beasiswa. Sejenak, aku panjatkan puji syukur kepada
Tuhan.
Siapa
bilang masa SMA ialah masa terindah?
Bagiku sama saja, tak berubah. Aku hanya fokus ke studi dan membantu Ibu
memeras rupiah. Tak ada namanya suka ke lawan jenis, atau pergi ke bioskop saat
Sabtu-Minggu. Yang kutahu, duduk di kelas sambil memerhati, bersapa dengan guru
seramah mungkin, dan pulang dengan rutinitas harian yang bertambah di malamnya.
Ya, kini tiap malam aku mengajar murid SD dan SMP putra tetangga. Setelah pukul
sembilan malam, barulah buku diktat pelajaran aku jamah, atau lebih sering tertidur
di atasnya karena lelah.
***
Biaya hidup makin menanjak, sementara
penghasilan hanya cukup untuk makan. Maka, aku mempunyai ide untuk berjualan
hijab/kerudung di sekolah. Coba kau
bayangkan, seorang anak lelaki, berkulit hitam, berambut cepak, dan berjerawat
karena puber, membawa katalog dan sampel hijab/kerudung ke kelas-kelas serta
ruang guru untuk dijajakan. Oh, apa mungkin terjual?
Jawabnya mungkin, meski lebih banyak
yang tertegun kaget. Beberapa lain kasihan, dan akhirnya membeli satu. Namun,
tak masalah bagiku. Asalkan perut kenyang, beribu ejekan bukan halangan.
Suatu ketika, Bu Aisyah, seorang guru
baik hati menawari untuk membawa daganganku ke arisan Dharmawanita. Tentu saja aku setuju, maka tak kusia-siakan
kesempatan itu. Bermodal ratusan ribu, Ibu belanja, dan memberi stok untuk
kubawa nantinya. Kegiatan itu berlangsung sampai aku genap kelas tiga, dan
akhirnya cuti, sesaat sebelum UN serta SNMPTN dengan alibi fokus belajar.
***
Nilai UN milikku biasa saja, di ambang
batas rata-rata sekolah. Aku masih gamang, ingin lanjut kuliah atau mencari
kerja. Hingga, Bu Karomah, seorang guru BK menunjukkan poster BIDIKMISI dan aku
tertarik mempelajari. Kukumpulkan semua berkas, mulai kopian SKTM dari
kelurahan yang birokrasinya luar biasa berliku, sampai transkrip rapor. Bermodal
keyakinan, aku mendaftar ITB jalur undangan dengan pilihan: FTI, FTTM, dan
FMIPA.
Pukul 19.05 sepulang dari masjid,
seseorang menelepon Ibu, memberikan selamat karena aku diterima di FMIPA ITB. Aku
tak percaya, hingga tak sadar telah tersujud di lantai. Ini tangis kedua
setelah Ayah tiada, tangis bahagia.
***
Bandung, sebatang kara, bermodal hasil
jualan Ibu, aku berangkat meraih masa depan. Daftar ulang, matrikulasi, dan
perkuliahan segera dimulai.
Ketika
tak ada yang mengenalmu, bolehkah kau menjadi dirimu yang baru? Aku mengubah bentuk pribadiku di
sini. Di SMP-SMA, aku termasuk pribadi pemalu dan takut akan tanggung jawab.
Maka di sini, aku masukkan diriku ke kemungkinan lain. Aku mulai berani
berbicara, berani mencalonkan diri memangku tanggung jawab, dan berani mencoba.
Apa
hasilnya? Ya, kini
aku diamanahi rekan-rekan untuk menjadi Ketua Angkatan Kimia ITB 2011 serta
Ketua Unit Majalah Kampus Boulevard ITB. Kelak, saat aku lulus, dengan bekal
mengarahkan orang, aku ingin jadi seorang pengusaha di bidang media. Tak nyambung? Tak masalah.
Barangkali, aku memulai episode hidup
dari titik balik ini. Dari kepergian Ayah yang tiba-tiba. Dari lintah darat
yang menggerogoti kami setelahnya. Dari lika-liku di SMP dan SMA. Dari masuk
kuliah, hingga kini menjadi mahasiswa tingkat tiga di prodi Kimia. Ini hitam-merah hidupku, bagaimana denganmu?
Bandung, November 2013