Selalu
ada kata ‘dahulu’ untuk menghibur masing-masing dari kita...
Jauh sebelum hari ini, bunga masih
saja segar membasahi mata. Kala pagi, kau menyapa lewat pesan elektronik, atau
dengan suaramu yang mengetuk pintuku pelan-pelan. Aku, selalu menunggumu untuk
memintaku bangun. Dengan mata merah berat, aku menyanggupi. Kupegang tanganmu,
kuraibkan mimpi untuk menyambutmu hari ini.
“Selamat pagi, Sayang...” kataku,
sejenak sembari mencari-cari kacamata.
“Aih, sebenarnya aku tak perlu kedua
lensa itu untuk mengeja ronamu. Aku telah hapal benar. Kulit putih, mata garis
pantai, hidung mungil, serta rambut hitam berponi milikmu. Semuanya aku ingat,
tanpa perlu berpikir lama. Adakah dari deskripsiku yang salah?”
“Tidak, Sayang, seluruhnya benar. Itu
aku, yang mengisi relungmu kala pagi,” ujarmu.
Maka, aku akan mengajakmu sarapan di
luar. Tentu saja, setelah aku rapi berpakaian dan wangi mengecup di badan.
Kugamit lenganmu yang halus, berdua, kita akan mencari menu harian pertama.
“Bagaimana kalau bubur?” kau melempar
pilihan.
Aku, tak pernah berkata tidak padamu.
Apa pun yang kau pinta, selalu kusetujui tanpa syarat. Barang tentu, aku
terlalu memanjakanmu, Sayang. Namun, bukankah cinta itu selalu mengabulkan?
Terlagi, permintaan itu baik, serta tak ada yang dirugikan. Maka, ciptakan
pinta-pinta terbaikmu, jikalau aku sanggup, hampir pasti aku penuhi sebelum kau
mengingatkan lagi.
***
Puspa mengenalku kala dunianya melukis
kecewa. Sakit hatinya akan lelaki terdahulu menjadikan alasan pertemuan kita.
Aku, pernah mewujud telinga terindah baginya. Mendengarkan apa pun perihal kesah,
duka, serta nestapa. Jikalau dia butuh, aku tentu menyisipkan kalimat-kalimat
penenang agar dadanya kian lapang. Namun, Puspa jarang memberiku jeda untuk
berkomentar. Sebab, lebih banyak, dia menangis sesenggukan dan pundak ini
menjadi jawaban sekaligus sandaran.
Puspa memelukku. Erat. Tak sanggup dia
melepaskan dekapan ini. Dan sungguh aku tahu, kau, Puspa, menginginkan lelaki
yang selalu ada. Mendambakan pria yang gemar mendengarkan kisah. Merindukan
seseorang yang tak banyak bicara, hanya menghadiahkan tenangnya agar abadi.
Ya, Puspa ialah wanita yang tegas.
Sebulan setelahnya, aku sadar jikalau hubungannya telah kandas. Akan tetapi, dia
semakin menyendiri, semakin gemar menuai air mata, serta semakin sering
memburamkan wajah. Puspa mulai mewujud murung.
Tentu, kalian akan cepat menebak
bagaimana jalan cerita ini bermuara. Ya, benar. Aku, dengan inisiatif
tertinggiku datang menghampirinya. Kukerahkan segala bentuk perhatian ke arahnya.
Tegur sapa di setiap senja hingga petang lagi. Bertukar kabar sepanjang hari.
Sesekali, kubuatkan dia sebait puisi, atau genap paragraf cerita pendek.
“Besok, boleh ya aku yang menjadi
tokoh dalam ceritanya... aku ingin sekali,” Puspa berpinta.
“Tentu saja, tapi kau tak boleh
sendirian merupa tokoh di sana. Harus ada aku yang menemanimu merajut cerita,
sudihkah?” aku balas meminta.
Kau hanya tersenyum. Lalu mengangguk.
Setelah pertanyaan itu, kita berjanji
akan selalu ada. Tak ada lagi panggilan nama yang terdengar saat bercakap. Dia,
teramat gemar memanggilku ‘Sayang’, begitu pula sebaliknya, meski belum
terbiasa lidah ini mengeja. Lamat-lamat, aku semakin nyaman dengannya. Maka
Puspa, aku tak mau pisah.
***
Malam tak bersuara gemar datang menyendiri.
Tiba-tiba, Puspa mengajakku bertemu tanpa sebab. Dia bersolek bak bidadari
mungil yang sengaja turun kala malam. Aku ingat, waktu itu Puspa berbaju putih
berenda. Oh, mengapa harus putih? Adakah hitam, atau merah bata yang lain?
Entahlah, aku sangat membenci putih.
Dahulu, Ayah sempat mengenakan kemeja putih kala pergi dan tak kembali.
Sahabatku, juga menyanjung kaos putih saat hilang terbawa arus sungai. Maka,
adakah makna baju putih yang dipakai oleh Puspa malam ini?
“Sayang, aku ingin meminta sesuatu
darimu...”
“Silakan, apa itu?” tanyaku.
“Aku... aku... aku ingin kau tak
menghubungiku dulu. Aku, punya sesuatu yang ingin kukejar.”
“Apa itu?” lagi-lagi aku menebar
tanya.
“Kau tak boleh tahu, Sayang. Kau tak
keberatan, bukan? Puspa merajuk ingin dituruti.
Ya, aku tak bisa menolak. Sebegitu
cintanya aku, hingga hilang larangan untukku membatasi. Maka, aku tak
menghubungi Puspa lagi. Dia, juga tak pernah berkabar balik sejak saat itu. Dan
cinta, memang seperti setangkai mawar merah saja, yang menguncup lalu memekar,
dan mekar itu kembali layu seperti sedia kala.
Aku telah lupa bagaimana memanggil
‘Sayang’ untuk Puspa. Barangkali, dia juga merasakan hal yang sama. Memang
benar, selalu ada kata ‘dahulu’ untuk menghibur masing-masing dari kita.
***
Puspa memakai kemeja sifon violet
pudar siang ini. Puspa menyapaku. Puspa membasahkan air ke jemari, wajah,
tangan, rambut, telinga, dan kakinya. Puspa berdiri di belakangku sembari
mendengar instruksiku memuja Tuhan. Puspa menghubungiku di malamnya. Puspa
memintaku mengalurkan kata untuk dihadiahkan padanya. Dan karena Puspa, tulisan
ini kugurat dalam romansa.
Ini
persembahan dariku untukmu, Puspa, sudihkah kau kembali saling sapa, tanpa perlu mengucap
nama?
(IPM)
Bandung,
November 2013