Buku ini sederhana. Tidak terlalu
tebal. Tidak terlalu berkesan pada tatap pertama. Namun, takkan pernah aku
melupa sampul dan isinya. Entahlah, ada kenangan yang merayu untuk senantiasa
dibasuh. Disentuh. Digapai. Hingga tak pernah selesai.
Barangkali Dahlian tengah bersedih, atau malah bersenang ketika menulis Promises-promises. Akan tetapi, tak penting
bagiku apa perasaan penulis saat mengukir tiap lembarnya. Sama tak pentingnya
apakah kau simpan, atau kau buang buku ini sewaktu sampai di teras rumahmu yang
kosong.
Kau
tidak sedang berada di rumah, Tya. Kala itu kau tak ada.
Lalu, untuk apa aku bersusah payah
mengantarnya, jikalau yang dituju tengah pergi entah ke mana? Jawabnya satu:
kewajiban. Pasti, kau akan bimbang tentang apa maksudku. Sabarlah, akan
kuberitahu kisah di balik pengembaraannya.
***
Aku melukis kata-kata dengan nama
tokoh Tya, asmamu. Kau, mungkin takkan pernah tahu. Tak mengapa, memang sengaja
kubuat agar seperti sandi, atau kode, yang sulit dipecahkan. Barangkali benar,
penyair, memang memiliki sisi hitam yang ingin disesakinya sendiri, tanpa yang
lain.
Tokoh Tya sangat hidup dalam cerita
itu. Terlalu hidup, hingga banyak pembaca penasaran akan sosokmu. Apakah fiktif, ataukah berwujud seseorang
yang nyata? Dan aku, selalu menjawab bahwa kau ialah abu-abu, di ambang
nyata dan tidak. Mengapa? Sebab, kau
selaksa harapan, Tya. Masih mewujud doa, yang terus dipanjatkan dan ditabahkan,
hingga Tuhan berkata: Jadilah. Maka,
barulah kau kusebut nyata.
Dalam banyak sajak, atau cerita pendek,
aku meriasmu bak permaisuri terindah di dunia. Tentu, aku tidak pernah
berbohong. Karena, aku takkan menambahi apapun di setiap lariknya. Cukuplah aku
berkisah akanmu, yang cantik, yang beralis tebal, yang berhidung mancung, yang
bertutur lembut, serta terakhir, yang kutatap ronamu memakai tudung merah
menyala bersama anak-anak pinggiran kota.
Sudah
kubilang berkali-kali, kau hampir sempurna...
Namun, aku dapat menduga kau tak
menyadarinya. Sebenarnya, aku tak juga pernah menyatakan langsung kekagumanku
padamu. Bukankah diam atau dikatakan, cinta akan tetap merupa cinta? Maka,
izinkan aku memendamnya, hingga pantas kau hadiahi aku utuh dirimu. Meski tak
pasti kapan.
***
Naskah cerita pendek ini: Bunga untuk
Sesiapa, berhasil memuaskan pemilik terbitan untuk mengabadikanmu dalam laman
kosong. Berjumlah segenap lembar, namamu, Tya, terpatri di sana. Tentu dengan
tokoh ‘aku’, yang memang adanya aku.
Sekarang,
apa kau bangga, Tya?
Kau masih terdiam, sembari tersenyum
tipis. Aku mengartikan bahwa itu tak cukup berarti untukmu. Maka, aku berusaha
untuk mengenangmu lewat tulisan lain. Maaf,
kali ini kalian tak boleh sesuka mencerna. Aku menghargai kisah Tya, yang
paling istimewa.
Di akhir apresiasi, penerbit
memberikanku sebuah cinderamata: buku ini. Entah agar aku membacanya, entah
agar aku mengabadikannya. Akan tetapi, aku tak membaca, terlagi mengabadikan.
Sebab, aku terburu meluncur menyesap depan rumahmu. Lamat-lamat, aku titipkan
karya Dahlian di teras yang berlangit
sesek bambu. Tak lupa, kulipat
beberapa nomor halamannya, hingga membentuk tanggal lahirmu.
Bagaimana,
sudah mirip seorang detektif kan pengagum rahasiamu ini?
***
Tya,
kalau kau bingung dari mana muasal buku itu, apakah dari langit, atau dari
seseorang? Jawabnya
tentu dari seseorang: aku.
Tya, kalau kau bimbang apa maksud pemberian buku itu, apakah hanya kebetulan, atau memiliki tujuan? Jawabnya mempunyai makna: rasa terima kasih untukmu, karena terus menginspirasiku.
Aih, pertanyaan berandai-andai dan
dijawab sendiri.
Maka,
Tya, bolehkah pertanyaanku berikut ini kau yang menjawabnya?
Masihkah
buku itu kau simpan dalam rak kamarmu?
Adakah
sedikit kesan mengenai itu?
Aku menanti jawabmu di layar ponselku.
Oh, setidaknya aku tahu, beberapa malam kemudian, kau akan membaca tulisan ini
dan menghubungiku.
Tya,
aku tunggu...
(IPM)
Surabaya,
Desember 2013