Kalian tentu tak akan paham mengapa langit kemarin
selaksa cerah. Awan abu-abu berarak, tetapi merah kian dominan. Petang di Kota
L selalu mewujud romantis. Di pucuk utara, hanya terpisah jengkal beratus meter
sebelum menyaksi debur lautan, aku berdiri memejam. Kubiarkan mata ini memeluk
gelap.
Dalam hitam, teringatku perihal rangkaian frasa dari seorang
sahabat. Ketika mustikamu tak dapat
mencerna, bukankah hatimu bertambah peka? Kau, akan sanggup menyaksi yang kasat,
pungkasnya.
Setelah kalimat itu melindas, hujan kandas. Sontak,
jalanan Kota L menjadi kuyup dan licin. Sembari menghangatkan diri, berkeloklah
dua roda besi ke arah sebuah kedai. Kedai yang sederhana, dituju hanya bersebab
dekat, dan tak mau basah.
Barang tentu, dalam kedai itu telah berpenghuni.
Berpasang muda-mudi saling bertatap, meski hanya dua cangkir minuman hangat
yang disesap. Mataku melucuti pengunjung satu per satu, sambil mencari titik
nyaman, untukku menulis.
Di dalam maya, ada beberapa gagasan yang ingin segera
dibuahkan mewujud prosa, atau alinea, atau bahkan sebait puisi. Namun, mereka
saling mendahului, hingga gamang aku memulai. Maka, kuendapkan semuanya dalam
kertas tissue, seperti yang J.K. Rowling lakukan dulu.
Karya yang baik, tentu yang memiliki struktur. Pembuka
menawan, isi menghadiahkan klimaks, serta akhir yang tak terduga. Itu baru karya, ujarku dalam hati.
Rintik bertambah deras, bau tanah basah menyeruak
menyelimuti hidung. Aku selalu suka bau tersebut. Membuat ketagihan. Mungkin,
hujan memang gemar memberi kisah untuk dilukis. Pernah suatu hari, hujan menyambutku
dengan ide Kado yang Tertinggal di Braga,
atau pula kisah Rintik Hujan yang
Terlupakan.
Semuanya tentang
hujan, yang menawan.
Aih, hujan tak sebegitu menawan. Meski aku suka, tetapi
tak tergila-gila. Sudah pasti kala hujan tak datang, aku masih bisa tertidur
pulas. Bahkan, saat hujan gemar menyapa, aku justru akan mengurung diri dalam
rumah. Tak mau menemuinya.
Hujan, kini memiliki
pesaing terberatnya.
“Siapa?” tanyamu.
***
Aku masih menanti hidangan datang. Semangkuk mie kuah,
serasi dengan mandhaeling. Oh, itu
hanya sejenis kopi, yang pekat dan hitam. Namun, di balik pekatnya tersimpan
kerinduan. Di balik hitamnya terbersit rasa candu. Itulah awal ceritaku
mengenal cita rasa mandhaeling.
Kertas putih rapuh berserat ini telah terukir panah-panah
dan kata. Oleh pena yang terselip di tas, aku merancang beberapa kisah. Kalau kukira logika ceritanya masuk, barulah
aku mulai menulis, batinku.
“Kamu masih di Kota
L? Sampai kapan? Tahun baru, aku masih ada ujian, mungkin baru pulang seminggu
setelahnya. Apa kau masih di sana?”
Itu pesan singkat dari seseorang yang mengetuk. Pelan.
Tak terduga. Bukan dari orang asing, melainkan tertanda sebuah nama: Tya.
Sekejap, kertas-kertas tissue yang berserak aku lipat rapi. Kumasukkan ke kantong plastik,
lalu kusisipkan di folder dalam tas.
Ya, kau pasti akan menduganya. Aku tak jadi menulis
tentang Fia, Satrya, Rahma, atau yang
lain. Senja ini, aku mengukir Tya lagi. Tanpa bosan. Tanpa bimbang.
Kau, pasti akan membayangkan aku terkesiap, lalu berdiri,
berteriak, dan menghadiahkan diri sejuta bahagia. Namun, aku tak sedang berada
di rumah. Aku di tempat umum. Tak boleh norak, harus tetap elegan.
Maka, kusimpan sejuta rasa indah ini dalam kalimat. Oh,
nanti malam, pasti Tya akan membacanya. Dia akan tersipu. Lalu, dia akan
berbincang denganku.
Andai syarat untuk bercakap dengan Tya adalah satu karya,
tentu setiap hari aku akan menulis tentangnya. Dengan sukarela, dengan
sukacita.
***
Hujan, kini memiliki
pesaing terberatnya.
“Siapa?” tanyamu, setelah berlembar obrolan melagu.
Dengan mantab tanpa ragu, jawabku singkat: kamu.
***
Apa yang kau ketahui tentang Tya?
Tak ada. Aku hanya tahu
bahwa telah berkali-kali aku jatuh cinta, kepadanya...
(IPM)
Surabaya,
Desember 2013