#Cerpen Fiksi
Aku
mencintainya, jauh sebelum kamu datang...
Ketika itu, awan masih malu-malu
mengepakkan sayap-sayap berarak. Langit gelap. Dan Sasqi, aku kira tengah
tertidur pulas selepas acara bersama semalam. Tentu, dia akan membaringkan
tubuh dengan kepala menghadap arah kanan, rambutnya terurai menyesaki volume
bantal, dan tangannya, melipat menyangga pipi, seperti ada yang diinginkan
datang merupa mimpi.
Dalam kamarnya, sudah pasti terdapat
beberapa lukisan dinding bergambar seorang wanita di tengah ilalang, yang
gersang, yang memanaskan di kala siang. Namun, dia menyukai itu. Sangat
menggilainya. Beberapa kali, bahkan, dia berkisah tentang sosok wanita dalam
cat minyak itu.
“Aku menyukai ekspresinya. Dingin. Dan
seperti tengah dilanda kebimbangan, yang tidak pasti...” pungkasnya.
“Apa kau menyukai ketidakpastian?”
tanyaku tiba-tiba.
“Oh, mengapa kau menanyakan hal itu?
Bukankah lelaki selalu mencari yang tidak pasti?” dia membalik tanya.
Sesaat, kita sama-sama mematung,
sebelum kemudi kutarik, serta arah rumahnya menjadi destinasi terakhir untuk
hari ini.
“Rama, terima kasih...” ucapnya,
sembari melenggang menuju pintu.
***
Ada yang berbeda kala Rina menyapaku
hari ini. Seperti tidak biasa. Sepasang lesung pipinya tak seindah kemarin,
atau dua hari sebelumnya. Kacamata lebar yang dia kenakan juga tak berbahasa,
seperti menyimpan sesuatu. Entah itu apa.
“Kau mengapa? Adakah kau ingin berbagi
kisah?”
“Aku... aku... aku ingin mengatakan
sesuatu, penting,” ujarmu, memberikan isyarat hendak berbisik.
Daun telingaku melebar, sejenak fokus
kuarahkan hanya pada sepasang bibirnya yang mungil, yang merah, seperti tak
hilang warna alaminya.
“Aku mencintaimu... sudihkah kau
menjadi kekasihku?” bisikmu pelan.
Tetiba, detak jantungku mengalahkan
melodimu berkata. Sepenggalah detik, semakin cepat lajunya. Aku terkesiap tak
sanggup. Diamku, ialah tanda ada kebimbangan hadir di sana.
“Mengapa kau diam, Ram? Kau tak
inginkan aku? Bukankah kita telah saling mengenal sejak lama? Tidakkah kau peka
akan rasa yang kutebar dekatmu nyata? Maaf, aku jatuh cinta.”
Kau tahu, wanita itu memiliki gengsi
teramat tinggi. Untuk bilang dia lelah, barangkali telah dipikirkan berulang
kali sebelumnya. Terlagi, menyatakan rasa. Oh, tidak mungkin. Atau, boleh jadi
sangat jarang, sebab, hanya wanita pemberani, atau yang tak sanggup lagi
menahan besarnya rasa, yang mampu mengatakan langsung kepada lelakinya.
Kau, dalam hal ini telah membuang
egomu jauh, untuk sepasang kalimat ‘iya’, atau ‘maaf, aku tak bisa’ dariku.
Maka, lelaki mana yang sanggup menolaknya, meski dalam hati ada wanita lain
yang ingin dijamah? Tak terkecuali aku, yang diam-diam membisikkan frasa ‘bersedia’
untuk menjalin kisah bersamamu.
“Terima kasih, Ram...” seperti kalimat
Sasqi, yang Rina ucap sembari menggenggam jemariku erat.
***
Apa hadiah untuk jatuh cinta yang
pura-pura? Kekangan? Kepalsuan? Atau, malah sunyi yang dibingkis rapi dalam
rinai senyuman, yang hampa, yang sesiapa menerka lebih hambar dari dinding
putih?
Ya, semua terkamu benar. Aku terjebak,
dalam kondisi ingin tapi tak bisa. Dalam situasi diam namun ingin leluasa
bergerak. Dalam hati, bayang Sasqi selalu menghampiri. Bahkan, semakin rajin
bayang itu menyeruak. Kadang lewat khayal, lebih sering melalui mimpi, atau,
pernah sesekali bayang itu merupa wajah Rina yang sayu.
“Oh, begitu kejamnya aku, dengan rasa dalam
hatiku. Maka, siapakah yang salah? Adakah aku, atau rasa terlalu mengagumimu?”
hatiku bertanya.
***
Aku berbohong pada langit, hari,
malam, dan petang. Pada sesiapa dengan topeng seakan-akan suka. Juga padamu,
yang terus memanja di hadapku. Namun, semakin kau mendekat, semakin jauh rasa
ini ingin mendekap. Justru, raut Sasqi selalu lahir, merekah kembali, serta
melekat dalam rinai hari.
“Seperti inikah cinta sejati?”
***
Rina menangis sesenggukan. Dimakinya
aku berkali-kali. Sehari, aku mewujud lelaki paling pengecut, yang membuat air
mata seorang wanita jatuh mengalir. Semakin sunyi, tangis itu semakin keras,
meraung, seperti kehilangan yang agung.
“Tolong, jangan lagi menangis! Aku tak
tega melihatnya...” aku memintanya diam, tetapi, seperti prediksimu, aku
menyerah.
***
Cara wanita membagi beban itu satu:
bercerita kepada sahabatnya. Dan, Rina ialah penganut paham itu. Singkat
cerita, seluruh sahabatnya mengetahui. Pelan-pelan, mereka menanam benih benci.
Disirami. Dipupuk setiap hari. Beberapa waktu, benih itu menjelma buah, yang
pahit, yang pucat ketika hendak diregang.
Canggung, ialah rasa di mana kau
berada pada kondisi salah, atau dianggap bersalah. Selayaknya kini, segala
perilaku padaku mewujud kaku, tak seperti dulu. Mereka, masih tak bisa menerima
fakta bahwa ini hanya sebuah lembaran hidup saja. Lembaran yang tak sepenuhnya
putih, terkadang hitam, atau kelam wajib ditambahkan.
Rina, kukira telah jauh memaafkan aku.
Namun, canggung itu masih ada. Oh, biarlah waktu yang melenyapkan, lengkap bersama
bekas lukanya.
***
Sasqi menyapaku, dia melambaikan
tangan dari ufuk jauh. Aku menghampirinya, untuk sekadar menanyakan kabar.
Entahlah, kabar darinya kukira sangat penting. Presensinya aku rasa sangat
berarti.
“Maka, Sasqi, bolehkah aku kembali
mengejarmu, tanpa suara, tanpa pertanda, serta abaikan saja tingkah pola
mereka?”
Sasqi tak menjawab. Dia terdiam seribu
bahasa.
Kuberi tahu, sebenarnya, aku tak
pernah menanyakan kalimat itu pada Sasqi. Aku masih saja di sini, memuramkan
wajah dalam gulita sudut ruangan. Berteman sepi, bersahabat dengan penyesalan.
Kalau saja aku dulu tak menghiraunya,
tak mungkin ada tangis, canggung, serta kebencian di antara kita. Namun,
bukankah roda akan tetap memutar gerigi? Bukankah lelaki selalu mencari yang
tak pasti?
“Ram, kalau kau berubah pikiran, aku
bersedia menerimamu lagi. Aku nyaman denganmu. Bagaimana makna sikapmu?” Rina bercakap,
sesaat kerlingnya berkaca-kaca.
Maaf, aku tak sanggup membohongi
perasaan. Hatiku masih tertambat padanya sekarang. Sudihkah kau merestui,
hatiku kian mencinta bayangnya lagi?
Kepada Sasqi,
aku masih jatuh hati...
(IPM)
Bandung,
Desember 2013