Untuk
D.
Kamu
selalu suka apabila menganalogikanku sebagai bulan. Entah purnama, bulat separuh,
hingga bentuk sabit. Bulan memang senantiasa berubah, tetapi akan tetap sama.
Apabila sudah begitu, tanpa ada komando, maka kamu akan menakzimkan diri
mewujud bintang.
Aku
tentu saja tak pernah keberatan akan perumpamaan itu. Namun, kamu harus tahu
jikalau bulan itu tak semandiri bintang. Bulan selalu menggantungkan asa ke
sesiapa demi terlihat cerlang. Bulan bisa meredup, layu, hingga tak terlihat
sementara waktu. Oh, dengan alasan itukah
kamu menamaiku sebagai Bulan?
Jika
benar, kalau boleh berpendapat, sejujurnya aku tak setuju. Wanita yang kamu
anggap bulan ini sebenarnya tak sesedih itu. Wanita yang hanya malam datang
baru terlihat ini juga tak serapuh itu. Wanita itu jauh lebih kuat daripada
lelaki, Sayang. Jauh, teramat jauh.
Coba
kamu bayangkan, rembulan mana yang bisa membunuh rasa rindu hingga menikam
sembilu. Coba kamu cari, kira-kira dewi malam mana yang sanggup menahan jarak
untuk tidak bertemu sepenggalah waktu. Kalau pun ada, tentu hanya beberapa.
Atau, cuma persentase kecil. Dan, aku jamin namaku pasti ada di antaranya.
“Lalu,
kamu ingin aku menyebutmu apa?” kamu bertanya.
“Entahlah...”
“Kamu
bosan merupa Bulan? Kamu jenuh menganggapku Bintang?” kini nadamu mulai
meninggi.
Dan,
seperti halnya wanita lain, dengan tekanan, dengan keterpojokan, wanita cuma
bisa diam. Seperti aku, yang hanya sanggup tersenyum menjawab tanyamu.
Obrolan
ini bukan teruntuk menyalahkan. Bukan pula saling melempar tuduhan. Namun,
lebih dari itu, harusnya kamu menangkap betul setiap maknanya. Bahwasanya
wanita, memang teramat suka diberi sesuatu: coklat batang, permen, manik-manik,
bunga, boneka beruang, sweater, baju
tidur, hingga liontin yang akan menggantung di antara kerah dan leher. Tetapi,
satu yang paling wanita suka: kepastian.
Kepastian
akan selalu dinomorsatukan. Kepastian mendapatkan perhatian. Kepastian untuk
senantiasa dibahagiakan. Dan lelaki, jikalau memang benar lelaki, hampir pasti
utuh memahami.
Aku
selalu suka kamu panggil Bulan. Aku selalu senang menyebutmu Bintang. Namun,
aku akan lebih suka apabila kamu menganggapku sebagai Bulan Yang Perkasa. Yang tanpa sinarmu pun masih bisa bercahaya.
Yang di saat kamu jauh kian sanggup berdiri teguh. Yang seperti murni
pribadiku.
Ini rupa Bulanmu kini, cobalah
lebih dalam lagi kau memahami...
(IPM)
Surabaya, Juni 2014