Genap roda besi keretaku mulai melaju.
Dari pelan, hingga beberapa saat tak terkejar lagi. Mesin pendingin ruangan
sudah menyala sedari tadi, tetapi baru terasa kini. Sejuk. Terlampau sejuk. Gigil
kecil lahir, berawal jemari, lanjut ke rambut tipis di tengkuk kepala. “Ah,
sudah tiba waktunya memakai jaket,” batinku.
Pemandangan di jendela lebar kereta malam
sungguh membuat bosan. Tak ada apa pun. Terlagi, lajur yang dipilih masinis
malam ini membelah belantara. Cukuplah bintang, juga bulan, yang menghias
gelap.
Atau, bahkan, mereka tinggal landas
meninggalkan malam. Ya, gerimis merupa awan abu-abu pada langit sendu merupa
alibi. Perjalanan 14 jam ke depan, hampir pasti dihabiskan dalam lelap, yang
senyap.
“Aku mau dibuatkan cerita,” tulismu,
pada layar ponselku yang tetipa menyala dan berkedip merah lampu diode-nya. Tentu, sepasang alisku lantas
bertemu, terbingung bimbang mengisahkanmu. Sebab, aku tak mengetahui apa-apa.
Selain kau jelita, dan banyak yang menjadikanmu idola.
“Apa yang harus kutulis? Bolehkah aku
berimaji saja?” Ketika itu aku spontan membalas pesan singkatmu, dengan penuh
tanya.
“Tidak. Aku akan bercerita... besok
malam.” Kau membuat janji, yang pasti aku usahakan tepati.
***
Hampir kepalang pagi kau menghubungi.
Seperti kemarin, melalui pesan singkat. Baru saja sepasang mata ingin mengatup,
menguncup, dan bersiap mekar di esoknya. Akan tetapi, bukankah tinggi seorang
lelaki ialah ditambah janjinya? Maka, hanya sepersekian jangka, lalu layar notebook 14 inch ini menyala, menunggu kotak pesan darimu berkisah.
“Ya, janji adalah janji, harus
ditepati...” kalimat gerutuku, sembari menghibur diri.
Kamu memanggilku Tukang Cerita. Sedang aku menyebutmu sebagai Fia. Berteman bantal, amben kayu jati, dan kopi hangat, yang
airnya baru mengucur dari dispenser,
aku menyimak tulisanmu. Tentang sapa, hidupmu, sahabat, serta cinta, yang kau
pesan agar kulukis di kemudian hari.
Kau tampak gamang memulai cerita. Dari
kalimat, “Aku harus berkisah dari mana ya...,” aku menangkap ketidaksiapanmu
untuk berbagi. Maka tugasku satu, hanya menunggu.
Tangan ini bersedekap, menanti
huruf-huruf yang muncul pada kotak pesan media sosial. Awal selalu sukar, bukan? Dan, sampailah Fia menggurat kisah
perkenalannya dengan Satrya, lelaki kedua yang dia anggap sempurna.
Tentu, akan ada yang merupa lelaki
pertama. Akan tetapi, Fia telah lama melupakan. Atau, lebih tepatnya berusaha
tidak mengingat. Sebab, dia jauh berada di masa lalu. Bahkan, tiga tahun
bersama, rasanya lenyap saat perpisahan terucap. Kisah manis memang selalu
menyiksa, kala akhir mewujud elegi, serta perih ternodai.
“Bah,
Fia tak serapuh itu. Aku kenal dia sebagai wanita tangguh,” hatiku berbisik,
seakan-akan paling tahu.
Kisah tentang mantan, hanya berbuah
beberapa frasa saja. Pelengkap. Karena, bibir Fia, yang sembari mengetik juga
berbicara pelan, lebih gemar menggurat Satrya, lelakinya kini. Dia bertutur
padaku dengan sangat detil, hampir selaksa dongeng. Sejenak, aku seperti anak kecil yang dibacakan cerita oleh seorang ibu
sebelum pulas.
Darimu, aku merasa sangat mengenal
lelakimu, Satrya. Aku tahu apa yang dilakukannya saat mendekatimu. Bermodal
formulir barang dagangan yang diedarkan, sedang apes-nya kau menjadi penanggung jawab untuk sebuah kelas. Maka, mau-tak-mau
kontakmu terpatri di sana. Dan, seperti dalam roman televisi siang hari, kau
dan dia berkenalan. Untuk lanjut berbincang di dunia teks, meninggi makan siang
bersama, serta intens pertemuan setelahnya.
Hari
lahirmu hadir di bulan Agustus, bukan? Maaf, aku tak terlalu mengingatnya. Namun, lelakimu itu, Satrya, sangat
hapal akan tanggal itu. Dia, dengan lebih sigap dari ibu tupai yang anaknya
hendak dilukai pemangsa, mengucap ‘Selamat ulang tahun’ tepat di pergantian
hari. Pukul 00.00, pungkasmu, sambil
bernostalgia sendiri.
Dan, kekasihmu sesungguhnya, yang
nantinya berubah status menjadi ‘mantan’, malah tertidur pulas di kasur kamar. Dia
terlambat barang sejam. Lebih-lebih, dia tak sempat memberimu apa-apa, hanya
sebongkah maaf, dan memohon dimaklumi. Namun, Satrya lebih lihai membaca
situasi. Berpakaian rapi, kejutan, dan ucapan hangat, mengagetkanmu untuk kedua
kali. Satrya bersambang langsung padaku,
di depan pintu, ujarmu.
Kemudian, kalimat ‘pada akhirnya, yang istimewa akan kalah
dengan yang selalu ada’ menjadi pedoman. Satrya, terus menghujani
perhatian. Sedang kekasihmu, larut dalam bising kegiatan. Masih Satrya,
memberimu sebutan ‘Nona’, serta ‘Bos’ untuknya. Bukan bertujuan lain, hanya
berusaha memagari, agar kau selalu mengingatnya. Bahkan, di bulan September, first flower darinya kau pegang seksama,
tak boleh disentuh sesiapa.
Seperti prediksiku, Oktober mewujud
hari kebebasanmu. Kau lebih bisa bernapas kini, dengan calon lelakimu yang
baru. Akan tetapi, memang benar jikalau wanita itu penikmat masa lalu, sama
juga sepertimu. Kau, Fia, kian enggan menerima Satrya. Lebih-lebih secara
terang, dia memintamu menjadi ratunya di pertengahan Desember. Kau tak siap,
atau pula menguji kesungguhannya. Aku tak tahu.
Penantian kalian mencapai klimaks di
bulan Juni. Sepertinya musim hujan saat itu, yang menghadiahi rintik-rintik
bahagia kepada setiap insan. Barang tentu juga kalian. Ikrar mengikat sepasang
kekasih terbalaskan. Dan, sampailah kau, Fia, dengan Satrya, menjalani hari
selaksa berdua.
Lembar harimu berisi warna-warni.
Tentu, lengkapnya menghadirkan canda, tangis, dan segala problematika. Tentang
kesibukan, mandek komunikasi, serta
tembakau, yang sangat kau benci, serta Satrya gemar mencicipi.
“Dia pernah berjanji padaku untuk
berhenti. Namun, dia berbohong,” ceritamu, menggambarkan kecewa atas
ketidakseriusannya.
“Tapi, dia benar-benar berhenti, jauh
setahun setelahnya,” lanjutmu menggariskan akhir masalah.
“Ah, selesai sudah berkisah tentang
Satrya. Aku bosan,” aku menggerutu untuk kedua kali. Sebab, kisahmu terlampau
sering kudengar, dari bibir-bibir yang lalu-lalang. Sampai akhirnya kau bilang,
“...ceritaku belum selesai, ini justru sedihnya baru diretas.” Daun telingaku
melebar lagi, bersiap menyamakan frekuensi.
“Aku sadar, aku salah orang...”
“Maksudmu?” tanyaku, ingin tahu makna
sebaris kalimat itu.
Untuk sekelumit frasa di atas, kau
mengganjarku dengan berlebar alinea. Kamu akan melahirkan satu tokoh lagi,
Daisy, wanita yang mengagumi kekasihmu kini, Satrya. Daisy pula yang
mengejutkan jemari kekasihmu dengan dasi biru pemberiannya. Tetap Daisy, yang dilantunkan
kalimat ‘terima kasih’ dari bibir kekasihmu atas tindakan sepele, sedang lakumu yang berjeri payah padanya tak mewujud
kalimat itu pada akhir.
Kau meradang. Mengenang lelah, capai,
kesah, akan segala bentuk kasihmu yang dianggap Satrya tak seberapa. Dia lupa
bagaimana kau mencuri waktu kuliah untuk sekadar memberi dorongan moral. Dia
tak ingat bagaimana perhatianmu tercurah untuk membenarkan kosakata dalam paper syarat kelulusannya. Dan, dia sama
sekali tak menghargai, tentang ini-ini-ini, dan lain-lain-lain.
Pahlawan kesiangan, selalu muncul
dalam sebuah keremangan hubungan. Kusebut dia, Dika. Sahabat lelakimu, yang
menawarkan payung untukmu berteduh. Yang mengizinkan bahunya untukmu mengadu. Yang
bersedia menghapus duka dan menyulamnya menjadi tawa. Namun, Dika tak tahu.
Bahwasanya wanita, tak serta merta butuh pengganti, setelah dikecewai.
Dika tak sabar. Dika tak mau
pelan-pelan menemani. Maka, ‘maaf aku tak bisa’ darimu menandai akhir upaya pendekatannya.
“Aih, kalau saja dia mau bersabar,
kalau saja dia mau pelan-pelan, pasti akhir cerita takkan berujung
penolakan...” Maaf, Fia, aku inisiatif menambahkan.
Kala kegamanganmu memuncak, perihal
hubungan tidak jelas, serta sahabat yang ingin menaifkan diri merupa pangeran,
kau dikejutkan lagi oleh seseorang. Putra, namanya. Pria yang dahulu kian kau
jatuh cintai. Pria yang dahulu senantiasa membuat bibirmu tersenyum. Dan pria
itu, yang dahulu tak pernah membungkuskan kesedihan untuk dilukis pada ronamu.
Pria
itu manis, kenangmu.
Kopiku menyisakan ampas di dasar mug keramik. Layar tempat kita berbagi
memori masih menyala terang, meski seringkali kulemahkan contrast-nya, bersebab terlalu silau. Kau tak membutuhkan akhir
untuk kisahmu. Dua setengah jam yang singkat, apabila disanding dengan sekian
tahun kisah hidupmu. Tujuh lembar ini terasa tak ada maknanya, bilamana
disamakan dengan bahagia, duka, terlagi nestapa.
Ketika kau bertanya lagi perihal yang
kau butuhkan. Tentu, aku sigap menjawab: waktu. Kau tak perlu apa-apa, Fia. Kau
hanya butuh waktu, juga teman berbagi. Kau, hanya perlu meniru Tom Hansen dalam 500 days of Summer, yang menemukan secara tak sengaja Autumn setelah dikecewai kekasihnya.
Dariku,
semoga larik ini sanggup merayu bibirmu melengkung lagi, menghiaskan geligi
putih, serta rona cerah khas seorang putri. Selamat menanti, kisahmu
terlengkapi...
(IPM)
Surabaya,
Januari 2014