Theodore mengira kisah cinta bersama Catherine akan berlangsung selamanya.
Setiap hari berbuah senyum, demi detik merupa kagum. Lengkung senyumnya,
menyelinap di setiap mimpi. Membayangkan pemilik mata itu menari, sungguh Theodore tak kuasa menahan diri, ingin
mendekap, tak mau melepas barang sejengkal.
Tak disadari, Theodore telah menemukan siapa empu
dari sepasang hatinya. Tiada lain, Catherine,
jelita yang gemar menghadiahkan tawa kepadanya. Namun, takdir sekali lagi
memilih jalan lain untuk mereka. Catherine
meninggalkan Theodore. Dua jiwa itu
berpisah, selaksa tak saling kenal.
Theodore membeli Samantha, suara perempuan yang selalu memanggil asmanya di tengah
malam. Samantha hadir, menghibur diri
Theodore yang telah dikecewakan.
Masih Samantha, amat lihai
membolak-balikkan rasa. Kala nestapa membuncah, suara itu hadir melucuti. Kala
senang terjalin, juga suara itu, dengan tepat waktu membungkus momen terindah
agar merupa memoria.
Hari-hari Theodore berubah cerah. Berwarna pelangi. Merah-jingga-kuning.
Hijau-biru-ungu-nila. Atau, apabila cakram diputar, ketujuh warna itu akan
merupa satu: putih cerlang. Apa jadinya
apabila seseorang mampu jatuh cinta hanya dengan mendengar frekuensi suara?
Gelak tawa. Sapaan di pagi dan malam.
Percakapan panjang pada siang-petang. Serta ajakan berbalas pendapat, yang akan
menguak bagaimana jalan pikiran harus diretas. Samantha melakukan itu dengan sempurna, hingga gila Theodore tak ingin melepasnya.
Akan tetapi, manusia tak butuh suara.
Tak perlu sebatas kata. Samantha tak
nyata. Samantha tak bisa memeluk
sambil menawan daun telinga. Samantha
tak mampu memainkan lentik jemari, sembari mengedipkan nakal sepasang mata. Samantha hanya ilusi, buatan logika,
buah tangan manusia.
Sampailah Theodore pada sisi terendah dalam hidup. Capai, lelah, nelangsa,
lengkap menghampiri setiap ujung cerita. Dalam senyap, di tengah gelap, Theodore menemukan satu nama: Catherine, belahan jiwanya itu, masih
hinggap, atau dipaksa hinggap dalam relung hati.
Surat beralamatkan Catherine terkirim. Pertanda perasaan Theodore yang masih sama: amat sangat mencintainya. Catherine belum berencana membaca. Dia khawatir, Theodore takkan pernah lagi memaafkannya...
(IPM)
Bandung,
Januari 2014