Aku
Aku lebih dulu menemukan sorotmu yang
sayu. Tentu lebih awal aku, menangkap potret utuh lekukmu kala berjalan
mengitari koridor. Aku tak sengaja menunggu kau lewat di antara barisan yang duduk mengintai bahan obrolan. Semua alami, hingga aku sadar, kamu, memang
seseorang yang aku jatuhcintai.
Perkenalanku denganmu dimulai secara tidak
sengaja. Kala itu hujan turun deras. Lepas. Membuat ranting kering terurai
menuju tanah. Rintik itu basah, merayap menyusuri jalanan-jalanan kota. Kau
terdiam tak hendak ke mana. Padahal hatimu, aku sangat yakin tengah gelisah.
Lantas, merupa ksatria, aku menawarimu ‘jasa antar pulang’.
Ah,
itu bisa-bisanya aku saja.
Jujur, jalur teduh boulevard kampus saat itu sangat ramai. Banyak muda-mudi yang menunggu
hujan reda. Namun, entah mengapa, justru kamu yang kutunjuk untuk berada di
kabin sebelah kiri. Bajumu cukup kuyup, sebab payung ini teramat kecil dipakai
berdua. Tapi, kuyupmu itu mewujud alasan jaket kulitku memeluk.
“Aroma parfummu lembut juga, masih melekat
di sisi dalam jaketku,” ujarku saat pertemuan kita yang kedua. Tak tahu mengapa,
hujan selalu hadir menemani. Namun, kali ini hanya gerimis. Yang lentik. Yang
halus menguakkan hawa ingin menciumi bau tanah. Kau bercerita tentang ini-itu.
Dari bahan sarapan tadi pagi, wajah kusam dosenmu yang marah-marah di tanggal
tua, hingga setelan apa yang ingin kau kenakan saat tidur nanti; baju tipis berserat
sifon, atau piyama garis-garis.
Kamu
pakai apa saja pasti tetap cantik,
aku membatin. Setelah renung tadi, aku yakin, atau teramat yakin bahwa aku
mencintaimu. Tuhan, buat kamu selamanya untukku.
Kamu
Kamu menikmati pertemuan kita tiap jengkal waktu. Pagi, siang, petang, atau bahkan dini hari. Terkecuali, malam, saat di mana kamu selalu sukar ditemui. Tak tahu. Aku tak mengerti kegiatanmu saat malam. Mungkin, kamu tengah belajar ilmu kinetika di selang tersebut. Barangkali, kamu sedang sibuk mengerjakan tugas dari dosenmu, yang mengutusmu untuk segera mengumpulkan topik tugas akhir.
Kamu pelan-pelan menjauhiku. Alibimu
satu: ingin fokus mengejar wisuda Juli. Kau mau tak mau harus menginap di lab,
sekadar menunggu timer tungku selesai
bekerja. Dan, suara khas wanita pun tumbuh, memintaku untuk lekat-lekat tak
bertemu.
Awalnya tiap hari, lalu melambat
seminggu sekali, kemudian sebulan, hingga aku lupa kapan terakhir kamu menemui.
Kamu, semakin menggila dengan sifatmu yang kaku. Dingin. Hambar. Sesekali kamu
berkabar, hanya sekadar basa-basi picisan. Kalimatmu ringkas, “Halo, bagaimana
kabarmu? Aku baik.” Dengan tergopoh, aku membalasnya cepat, tentu dengan
kalimat-kalimat bijak nun merayu.
Dia
Dia tetiba mendekatimu. Dengan jurus menyeringai lapar, dia mengurungmu dengan pesonanya. Kau tergeletak, tak bisa menolak. Sampai akhirnya kau menyerah, diam sejenak, dan berkata ‘bersedia’.
Kamu menggandeng tangan dia ke mana
pun, semacam takut terjatuh apabila tak dituntun. Sejenak, kamu mulai terbiasa
dengan hal itu. Tak sanggup aku mendengarnya, kala rekanku berkisah tentang kebersamaan kamu dan dia.
Siapa dia? Mengapa harus dia? Siapa
aku? Mengapa bukan aku? Itu tanya, sekaligus kekecewaan. Hampir sebulan
berjalan, aku baru tahu tentang jati diri dia, yang menggamitmu pergi, hingga
pulang lagi.
Tapi,
aku malas membahas dia. Biarlah...
Aku
Aku membencimu. Amat sangat membencimu. Kau tak tahu. Atau, mungkin kau berpura tak merasa. Batinku tercekat. Uluh nadiku terasa tak lagi melekat. Aku menyesal jatuh hati. Aku merasa salah langkah, saat memberimu tumpangan di tengah rintik lebatnya. Aku keliru, mengharapkan senyum serta-merta teruntukku.
Kamu.
Aku benci kamu...
Kamu
Kamu membenciku sejadi-jadinya. Hampir tak ada kata maaf lagi. Dia, hanyalah pelarianmu. Sosok yang tercipta semata tak ingin mengingatku lagi. Kamu terluka karenaku, yang tidak kunjung memberikan kepastian. Wanita itu peragu, dan kamu mengharapku agar teramat memahami frasa itu.
Kamu
sebenarnya mencintaiku, hanya saja aku, terlalu takut untuk mengikat janji
terlebih dahulu...
(IPM)
Bandung,
Januari 2014