Tas ransel merah strip
putih. Celana skinny jeans merk
terkenal berbalut biru laut. Kaos polos berlengan tanggung karena tidak pendek,
tapi juga tidak panjang. Dipadu jaket katun tosca
pucat bertuliskan "C-A-M-B-R-I-D-G-E" yang hangat. Membungkus sosok yang
menemaniku sekurang-kurangnya delapan jam perjalanan.
Siapakah sosok itu?
Ialah dia, yang hitam rambutnya lebat mengarah ke
sandaran kursi. Tentu, sesekali dia merapikan tatanannya agar tetap cantik.
Lalu, rias wajahnya, yang terhalangi poni lurus itu, terkadang dia saput
perlahan. Sangat halus. Aku perhati, dan tibalah aku menyaksi bahwa dia memang
menarik.
Dia jelita. Tak
bernoda. Putih. Mengilat.
Sekelebat waktu, kereta malam kami menyepi hingga
kantuknya kian merajai. Dia mulai memejam, sedang bangku kami ditakdirkan
berhadapan. Sekurang-kurangnya berjarak satu meter untuk dapat sedekat mungkin
dengan dia.
Selamat tidur,
Cantik. Sudahkah kau memesan mimpi? bisikku padanya, yang hanyut
terbawa hawa dingin malam.
Dia melipat kelopaknya. Membuat genap bulu matanya
menguncup, tak menyisakan cahaya untuk menangkap binarku masuk. Namun, aku
terjaga. Kian bermata, melucuti ronanya.
Sedari tadi aku mencuri waktu, hanya untuk memperoleh
perhatiannya. Kalau pun tak dapat, bolehlah senyumnya seberkas saja terangkat. Oh, aku ingin sekali melihatnya!
***
Tujuan nona manis itu ialah Kota D. Tempatku merajut
mimpi menjadi pribadi dewasa. Di sudut kota itu, aku giat memperbaiki nasib
yang layaknya kian terombang-ambing oleh keadaan.
Kubercerita kepadanya tentang singkat kisahku. Sedikit
saja. Sebab, kita masihlah memakai topeng masing-masing, yang ingin agar
dianggap sempurna.
Siapa namanya?
Sudahlah, aku tak membutuhkan secarik nama, atau sekadar
identitas tambahan. Cukuplah asal daerah, studi di mana, mengambil jurusan apa,
dan hendak turun di stasiun mana. Ya, tak ada lagi yang akan digali. Dan kita,
juga barang tentu tak ingin bertemu lagi.
Dia masih tertidur. Pulas. Sedang aku tengah larut dalam
lembar demi lembar Angsa-angsa Ketapang.
Buku kumpulan sajak karya penulis muda yang kesepian. Atau, lebih tepatnya
menyepi. Atau, sangat tepat bila dikatakan dia sengaja meraih sunyi, untuk
selalu menulis lagi. Dalam halaman awal, tentu akan dikisahkannya mengenai
elegi. Namun, aku tak merasakannya. Entahlah, mungkin kontras suasana mengarah
penyebabnya.
***
Gadis jelita itu terbangun, oleh hentakan kereta saat
hendak melenggang kembali. Masinis, sepertinya tengah memikirkan hal lain, hingga
begitu keras menarik kemudi.
Matanya berkedip-kedip, menyaksiku, yang masih kian
bermata. Sejenak, arah tatapnya terbuang jauh di pelupuk jendela. Akan tetapi,
hanya bayangnya yang dipantulkan.
“Di luar begitu gelap, tidurlah lagi. Perjalanan masih
panjang...” ujarku.
“Apa yang kau baca? Sepertinya menarik,” balasmu, mencari
lain topik.
“Sastra. Jenis sajak, cerita pendek, juga kadang puisi.
Kau suka membaca?” percakapan kami memanjang, di antara kantuk dan kesunyian
kereta malam yang melaju kencang.
Arlojiku menunjukkan pukul sebelas malam. Sepertinya, di
gerbong tiga kereta ini tinggal kami berdua yang terjaga. Lain mata, masih
menyesap mimpi bersama hawa sejuk kereta. Aih,
sepertinya aku tak perlu bermimpi malam ini, sahutku.
“Mengapa? Kau tak ingin tidur?” sapanya, sedikit merasa
heran.
“Tidak, aku ingin menulis setelah ini. Menulis mimpi.”
“Apa yang ingin kau tulis?”
Aku diam, tak menjawab tanya itu. Hanya saja, dia
mengerti apa yang kumaksud. Dia tersenyum tipis. Geligi putihnya menguap, dan
kembali pandangan dia hanya tertuju pada mataku.
“Kau, tak perlu memandangku seperti itu. Jika tulisanku
telah selesai, akan aku tunjukkan padamu tentang apa mimpiku, yang kutulis
sepanjang malam nanti. Sabarlah...”
“Aku tidak sabar menantinya. Cepatlah.”
Lantas, dia mencicip playlist di pemutar lagunya.
Sebenarnya, kami bisa saja duduk berdampingan, sebab bangku sepasang yang
seharusnya terisi kian tak berpenghuni. Bangkumu, dan bangkuku, hanya terisi
tas dan buku. Tapi, tak sanggup lisan ini berucap untuk mengajakmu meringkuk di
sisiku. Aku malu...
***
Jam di ponselmu memutar digital angkanya dengan pasti.
Angka dua lewat tiga puluh tepat. Aku memandangi pandangnya. Cukup lama. Dia,
masih melukis kosong pemandangan luar dengan mata. Dan barangkali, bersebab
seperti diawasi, dia mulai berubah fokus, menatapku balik.
Kau sudah selesai?
Anggukanku tersalurkan. Dengan sigap, dia berpindah ke
bangku kiriku yang berdiam buku-buku bacaan. Dia meletakkan beberapa buku di
pangkuan. Oh, sejenak aku iri dengan buku
bacaanku sendiri.
***
Kepalanya, atau barangkali juga lebat rambutnya ringsek
ke bahuku. Layar notebook keluaran
2012 ini fokus perhatiannya sekarang, berisi mimpi yang sedari tadi kuketikkan.
Dia begitu manja, setelah kutahu dia merengek memintaku membacakan karya itu
untuknya.
Aku mulai berkisah. Dengan nada pelan, setengah berbisik.
Dia menikmati, akan tetapi introdaksi atau pembuka
karyaku ini begitu panjang. Hingga dia hanyut ke dalam ruang yang sengaja aku
lebarkan.
Mimpiku
dalam karya yakni bertemu seseorang. Wanita. Berparas ayu, bergelimang
perhatian. Wanita itu menarik duniaku. Aku membuatkannya cerita. Dia suka.
Dan kini dia duduk berdua denganku di sisa perjalanan kereta.
“Ceritamu tak asing. Kau tidak sedang menulis mimpimu.
Kau menulis aku...”
Aku mematung, menghela napas.
“Tapi mengapa?” tanyamu, dengan suara lembut.
Aku tak punya alasan.
Aku hanya tak ingin bermimpi malam ini. Karenamu. Aku... aku tertarik padamu.
Dia tak bersikap berbeda. Bahkan, wanita berjaket tosca itu tetap duduk di sampingku.
Hanya saja, kami saling membisu.
***
Stasiun Kota D segera membumi. Waktuku, waktunya, untuk
berkemas saling melepaskan. Aku, akan menuju jalur lain yang harus ditempuh.
Begitu juga lajurnya, yang kian berbeda.
Roda besi berhenti. Ucapan canggung, pertanda 'selamat
jalan dan sampai bertemu lagi' tertunaikan. Dia membalas senyum, tapi kian
menggantung.
***
Bah, satu lagi kisah tertuang dalam lembar lamanku kini.
Kuberi judul: Teman Delapan Jam.
Maaf, sengaja aku namai cerita ini dengan dusta.
Sejujurnya, dia tak berteman denganku dalam interval itu. Kami berbincang lebih
lama. Sangat lama. Bahkan, beberapa hari setelahnya. Atau berbulan. Atau hingga
saat ini.
Tiara menghubungi ponselku. Kami bertemu di kafetaria.
Dia mengenakan baju vintage krem bermotif bunga-bunga. Dia ingin membaca lagi karyaku tentangnya. Dia jatuh cinta pada kumpulan frasa itu. Lebih parah,
dia jatuh hati juga pada penulisnya. Dia meringkuk di genggaman, sedang malam
kian mengejang. Di sudut ruangan, lirik Shania
Twain melantun pelan. Kau tak memberi ruang, semakin erat merapatkan diri
dalam dekapan.
(IPM)
Surabaya,
Januari 2014