Namun,
hidup itu tentang banyak pilihan, bukan? Tidak bisa hanya memilih satu jalan. Apabila kau hanya
mampu pada satu sisi, itu tak masalah. Akan tetapi, jikalau bisa lebih, lantas,
mengapa tak dijalani?
Tukang Cerita pernah berpikir untuk
melenggang penuh menuju dunia kepenulisan. Masa
bodoh dengan angka, dengan persamaan, dengan diagram. Itu sama sekali tidak
cocok menurut sikap pribadinya. Orang tua, tentu tak pernah mempermasalahkan
mau jadi apa dia di kemudian hari. Itu
hidupmu, maka pilihlah sesukamu...
Untuk alasan itu, Tukang Cerita berkenalan dengan ragam-warni buku. Outliers dibabatnya saat baru masuk bangku kuliah. Setelahnya, The Secret, yang kata beberapa orang dinilai sebagai buku kontroversial, semacam mendalilkan sesuatu mengenai hidup. Sophie’s World tujuan berikutnya.
Kemudian, beberapa judul kumpulan
karya Djenar, Agus Noor, Dewi Lestari, Adimodel,
Bernard Batubara, Sukak, Leila S. Chudori, Pramoedya Ananta Toer, hingga
kalimat bijak khas Mario Teguh, Bong Candra, dan Steve Jobs ditatap tak kenal lelah. Untuk sisi perkuliahan, textbook semacam: Brady, Haliday-Resnick, Purcell, Fessenden, Solomon, Atkins, Harvey,
Housecroft, Vogel, Stryer, serta Lehninger
bisa saja bersahabat apabila dibutuhkan.
Tukang Cerita mengulas habis beberapa.
Tentu catatan kecil selalu tergamit di saku celana, beserta pena, sebagai teman
setia. Dia tak memiliki memori lebih, maka mencatat mungkin jalan terbaik untuk
dijalani.
Dia bukan dari lingkungan berada.
Siapa sangka, ayahanda-nya telah jauh pergi menatap Sang Pencipta. Tangis, air
mata, keluh, resah, ialah cat minyak untuk dia gurat dalam kanvas. Tentu
hasilnya bukan lukisan, tetapi prosa beralinea. Sebab, rangkaian kata, dia
pikir lebih bergairah ketimbang kontras warna.
Maka, tulisan ini bukan bermaksud menggurui.
Hanya sebagai referensi, bagaimana seseorang dapat memiliki keahlian lain di
luar bidangnya. Kalau disuruh menentukan, tentu Tukang Cerita menjawab bahwa passion-nya ialah menulis. Namun, hidup
itu logis. Dan menulis, bisa diaplikasikan ke dalam berbagai segi.
Dia, bisa menggunakan modal itu untuk
merancang proposal bisnis. Lain waktu, dia menghujamkan berlarik kalimat padu
guna membuka sebuah acara. Atau, pernah dia didaulat sebagai pembicara yang
mengkritisi sebuah tema. Semua itu berhubungan dengan kepenulisan. Dan membaca,
jendela untuk bisa menoreh pena.
Kini, silakan kaupilih, lebih menarik
mana: penulis cerpen, atau profesional di
perusahaan yang bisa menulis cerpen?
Salam hangat,
Tukang Cerita.