Kalau
kau bosan perihal topik tulisanku, boleh saja kau tak lagi membacanya. Namun,
jangan paksa aku untuk melupa. Maaf, aku tak bisa.
Berusaha melupakan ialah
sesuatu tak mungkin, sebab di saat yang sama, secara tak sadar, justru kau akan
mengingat bagian itu kembali. Lebih dalam. Lebih luas. Dan, ketika matamu
terbuka dari pejam, lengkap sudah segala memori akan berpulang lagi, memenuhi
hari.
Atau, jikalau cara itu tak
ampuh. Kau merengek padaku untuk mengabaikan keberadaanmu. Sederhananya,
berpura tak tahu kau ada. Bahkan, sejengkal depa di depanku kau berdiri, aku
tak boleh memandangi. Aku menyanggupi sehari-dua hari saja, tetapi menginjak
ganjil hari berikutnya, aku tak kuasa. Pertahananku lantak tak tersisa.
Jadi,
masihkah kau memintaku melakukan itu? Melupakanmu?
Apa
maksudmu?
Kau, tentu tak paham bagaimana
rasanya suatu hari lampau pernah kau perlakukan aku bak seorang putri. Tiap
pagi tak pernah alpa kau mengucap kata mesra. Entah lewat alfabet, atau
intonasi. Semua kau jalin indah, sarat metafora. Sejenak, aku menyenangi bangun
tidur dan membenci ketika hendak pergi memejam. Alibiku satu: ingin selalu
lekat dekatmu.
Kau, sudah pasti tak melihat
bagaimana ekspresiku ketika pesan singkat darimu mengagetkan pada gelap malam. Melucuti
setiap celah untuk kau tinggali. Geligi ini gemar mengering bersebab tawa. Air
mata ini tak pernah tumpah. Kau, punya banyak cara untuk selalu membuatku jatuh
cinta.
Ada saat di mana kita, kau dan
aku, tak lagi berjarak, saat kita berada dalam situasi paling kompak, saat
pelitaku tergambar cerah pada sorot matamu, serta saat aku menjadikanmu sosok tak
terganti, justru pada saat itu, ya, aku ingat benar, pada saat itu... kau
mengucap pergi.
Pergimu tak menghadirkan jalan
kembali. Bahkan, janjimu untuk terus menghadap ke depan, sepenuh hati kau
tepati. Sekali saja, tiada berlarik frasamu menyapa. Dalam kepalamu, kau
menganggap aku apa? Sebuah persinggahan? Teman sebatas waktu untuk menggadai
kesepian? Atau, hanya barang, yang bisa dipungut dan disaput semau kehendakmu?
Hey, Bung, aku ini hidup! Punya
hati. Mataku kaca, mudah sekali berair dan pecah. Lantas, kau masih saja tak
mengerti bagaimana sakitnya. Kalau saja pergimu itu untuk kita, aku tak akan
meracau selayaknya ini. Namun, alasanmu pergi, tak bisa kuterima: mencari yang lebih baik.
Maaf,
ada yang salah dengan alasan itu? Bukankah tiap insan diisyaratkan untuk
‘mencari yang lebih baik’? Tidakkah kau mengerti?
Kau, tak perlu lagi banyak
berkata. Diamlah!
Kau
tak apa?
Sudah, pergilah! Jangan pernah
kembali datang! Aku benci padamu, amat sangat benci! Aku benci padamu, terlebih
pada diriku, karena hingga sekarang, rasaku akanmu tak mampu kuhilangkan.
Aku benci mengaku, bahwa bayangmu, masih setia mengisi malamku dengan potret kenangan masa lalu.
Kamu,
jangan pergi...