I won’t live to see another day, I swear it’s true.
Because
a girl like you is imposible to find.
Seperti lirik itu, seperti bait itu.
Tepat layaknya makna yang berada sepanjang frasa itu. Ya, saat ini, aku
sebegitu takut kehilanganmu.
Tentang kamu, aku sudah lelah
mengguratnya. Terlampau banyak lembar yang kuhabiskan guna menoreh ronamu. Dari
ujung jemari, lengan berbulu coklat jarang, bahu bengkok yang gemulai untuk
bersandar manja, hingga kelopak mata, tempat bibirku mendarat kala
membangunkanmu ketika pagi menjelang.
Kau simak, aku hapal segala lekuk dan persimpangan darimu. Kapan kau terjaga, bagaimana kau bertingkah setelah keluar dari kamar mandi, menu sarapan apa yang paling kau cari setelah duduk di meja makan, hingga piyama bermotif mana yang menjadi favoritmu untuk terbalut bersama kerut sprei.
Kau tahu, deskripsiku tak butuh waktu.
Lidahku telah sangat lihai mengucap segala kalimat itu. Dan, aku pastikan kau
teramat memahami. Maka, tiada alasan untukmu berpaling pergi.
Apa yang kau butuh, selalu bisa
kupenuhi. Apa yang kau mau, senantiasa dapat kuturuti. Bahkan, beberapa hal
telah kuajukan kepadamu, jauh sebelum kau berpikir untuk memintaku. Kamu
terlengkapi, sementara aku, tak pernah letih melayani.
Inilah
yang disebut cinta, bukan?
Yang tak mengharap kembali kala pasangan menyajikan senyum sejati. Seperti kata
pepatah: jikalau kau bahagia, tentu selalu ada aku, yang turut berbahagia
karenamu.
Namun, hidup bukan teruntuk bahagia
saja. Selalu hadir duka di tiap bait sukacita. Dan kau, kutakzimkan mengerti akan
hal itu. Apabila belum, tenanglah, masih ada aku, yang memapahmu untuk terus
melaju.
Lengan ini legam, untukmu berpegang.
Sorot mata ini tajam, untuk agar kau tak mampu melupakan. Kala kau merengek
ingin kembali, aku tentu akan mengantarmu lagi. Tapi cukup sebentar, sebab kita
tidak hidup di masa lalu.
Oh, bukankah kau yang memintaku untuk
mulai berpikir, nama apa yang cocok untuk anak-anak kita nanti? Bahkan, kau
tertawa lepas, ketika aku melempar beberapa opsi. Ah, nama itu seperti di telenovela saja, tak cocok, Sayang,
kemudian lesung pipimu tumpah.
Jikalau lelah, kau tetiba duduk dari
ringsek tubuhmu yang bersandar di pundakku. Lantas, kau melenggang, menuju
dapur yang selalu rapi sebab jarang dipakai. Kau, lebih suka mengajakku makan
di luar. Alibimu satu: tak mau repot. Namun, untuk wanita secantik kamu, mana
bisa aku menolak ajakan itu.
Sudahlah, tak penting apa kau bisa
memasak atau tidak. Ibuku tak pernah tahu. Dan, aku tiada mempermasalahkan hal
itu. Dompet ini masih dalam batas aman. Kerjaku, yang di lahan basah, tentu
takkan membuatmu berpikir untuk berhemat. Silakan kau manjakan tubuhmu,
pikiranmu, terlagi batinmu.
Akan tetapi, kebebasan, tak selamanya
merupa kebahagiaan. Seperti kini, aku bebas pergi entah ke mana. Kau, tak
pernah mencarinya. Padahal, di zaman serba modern seperti ini, ada banyak jalan
untuk menemui. Namun, sekali lagi, kau tak bergeming mencurigai.
Aku, bisa saja berkelok sebelum menuju
rumah, ke kediaman sesiapa, sekadar untuk melepas lelah. Atau, kau tahu,
Sayang, sekretarisku itu, lekuknya jauh lebih cantik daripadamu. Aku, tentu
sangat mampu memberinya insentif lebih untuk menemaniku kala lembur. Hingga
esok. Hingga dia membangunkanku dengan desah, “Pak, sudah pagi...”
Sekali lagi, aku tengah berandai. Itu
cuma khayalan. Aku tak pernah menduakan. Bahkan, sekretarisku tak pernah
kusentuh lekuknya barang sejengkal. Aku tahu bagaimana sakitnya pengkhianatan.
Aku pun tahu bagaimana taklidnya dicampakkan. Dan, aku masih menunggu bagaimana
rupa bayi kita nanti, secantik kamu, ataukah setampan aku.
Untuk calon belahan jiwaku:
Sabarlah,
aku akan segera menghampiri. Kau tahu, tugas kita satu: terlebih dulu saling
memantaskan diri...