Mencarimu Hingga Jauh

February 03, 2014



I won’t live to see another day, I swear it’s true.
Because a girl like you is imposible to find.

Seperti lirik itu, seperti bait itu. Tepat layaknya makna yang berada sepanjang frasa itu. Ya, saat ini, aku sebegitu takut kehilanganmu.

Tentang kamu, aku sudah lelah mengguratnya. Terlampau banyak lembar yang kuhabiskan guna menoreh ronamu. Dari ujung jemari, lengan berbulu coklat jarang, bahu bengkok yang gemulai untuk bersandar manja, hingga kelopak mata, tempat bibirku mendarat kala membangunkanmu ketika pagi menjelang.

Kau simak, aku hapal segala lekuk dan persimpangan darimu. Kapan kau terjaga, bagaimana kau bertingkah setelah keluar dari kamar mandi, menu sarapan apa yang paling kau cari setelah duduk di meja makan, hingga piyama bermotif mana yang menjadi favoritmu untuk terbalut bersama kerut sprei.

Kau tahu, deskripsiku tak butuh waktu. Lidahku telah sangat lihai mengucap segala kalimat itu. Dan, aku pastikan kau teramat memahami. Maka, tiada alasan untukmu berpaling pergi.

Apa yang kau butuh, selalu bisa kupenuhi. Apa yang kau mau, senantiasa dapat kuturuti. Bahkan, beberapa hal telah kuajukan kepadamu, jauh sebelum kau berpikir untuk memintaku. Kamu terlengkapi, sementara aku, tak pernah letih melayani.

Inilah yang disebut cinta, bukan? Yang tak mengharap kembali kala pasangan menyajikan senyum sejati. Seperti kata pepatah: jikalau kau bahagia, tentu selalu ada aku, yang turut berbahagia karenamu.

Namun, hidup bukan teruntuk bahagia saja. Selalu hadir duka di tiap bait sukacita. Dan kau, kutakzimkan mengerti akan hal itu. Apabila belum, tenanglah, masih ada aku, yang memapahmu untuk terus melaju.

Lengan ini legam, untukmu berpegang. Sorot mata ini tajam, untuk agar kau tak mampu melupakan. Kala kau merengek ingin kembali, aku tentu akan mengantarmu lagi. Tapi cukup sebentar, sebab kita tidak hidup di masa lalu.

Oh, bukankah kau yang memintaku untuk mulai berpikir, nama apa yang cocok untuk anak-anak kita nanti? Bahkan, kau tertawa lepas, ketika aku melempar beberapa opsi. Ah, nama itu seperti di telenovela saja, tak cocok, Sayang, kemudian lesung pipimu tumpah.

Jikalau lelah, kau tetiba duduk dari ringsek tubuhmu yang bersandar di pundakku. Lantas, kau melenggang, menuju dapur yang selalu rapi sebab jarang dipakai. Kau, lebih suka mengajakku makan di luar. Alibimu satu: tak mau repot. Namun, untuk wanita secantik kamu, mana bisa aku menolak ajakan itu.

Sudahlah, tak penting apa kau bisa memasak atau tidak. Ibuku tak pernah tahu. Dan, aku tiada mempermasalahkan hal itu. Dompet ini masih dalam batas aman. Kerjaku, yang di lahan basah, tentu takkan membuatmu berpikir untuk berhemat. Silakan kau manjakan tubuhmu, pikiranmu, terlagi batinmu.

Akan tetapi, kebebasan, tak selamanya merupa kebahagiaan. Seperti kini, aku bebas pergi entah ke mana. Kau, tak pernah mencarinya. Padahal, di zaman serba modern seperti ini, ada banyak jalan untuk menemui. Namun, sekali lagi, kau tak bergeming mencurigai.

Aku, bisa saja berkelok sebelum menuju rumah, ke kediaman sesiapa, sekadar untuk melepas lelah. Atau, kau tahu, Sayang, sekretarisku itu, lekuknya jauh lebih cantik daripadamu. Aku, tentu sangat mampu memberinya insentif lebih untuk menemaniku kala lembur. Hingga esok. Hingga dia membangunkanku dengan desah, “Pak, sudah pagi...”

Sekali lagi, aku tengah berandai. Itu cuma khayalan. Aku tak pernah menduakan. Bahkan, sekretarisku tak pernah kusentuh lekuknya barang sejengkal. Aku tahu bagaimana sakitnya pengkhianatan. Aku pun tahu bagaimana taklidnya dicampakkan. Dan, aku masih menunggu bagaimana rupa bayi kita nanti, secantik kamu, ataukah setampan aku.

Untuk calon belahan jiwaku:
Sabarlah, aku akan segera menghampiri. Kau tahu, tugas kita satu: terlebih dulu saling memantaskan diri...



Followers