Tenanglah, tak perlu kau gundah
akan pertemanan kita. Aku tidak pernah berniat menodai apa yang kausebut
persahabatan. Dua orang yang dipertemukan untuk berbagi, baik cerita, tawa,
suka, ataupun nestapa. Namun, tanpa bait cinta. Tanpa warna merah muda khas
asmara.
Tentu aku tak mampu untuk
tiba-tiba menghampirimu, mengajakmu duduk barang sejenak, dan bercerita tentang
perasaan. Kau juga pasti bergumam dalam diam, terkejut, menerka-nerka perihal
sebenarnya apa maksudku mengungkapkan rasa.
Tidak selugu itu aku memilih
cara untuk mencintaimu. Aku menyukai keindahan, garis-garis artistik,
frasa-frasa magis: tentang malam, bunga, senja, rembulan, hujan, air mata, juga
kamu. Mengapa harus ‘kamu’ yang terlampir
di sana?
Terlampau berhati-hati aku memandangimu
dari dekat. Sejak keakraban kita menanjak, mewujud ruang kecil berdua untuk
saling berkisah, aku perlahan memberi jarak. Tak bertujuan lain, hanya agar kau
tak curiga.
Sering kita menghabiskan waktu
berdua. Akan tetapi, tiada seorangpun akan curiga. Tak ada dari teman kita yang
menggoda kala dengan serius kau memandangku sembari mendongeng masa lalu. Kau
akan bergeming, diam beberapa saat dan berkata, “Thanks, sudah menjadi
telingaku,” sambil mengakhirkan perjumpaan. Oh ya, tak lupa pelukmu mengambang,
ketika beban dunia terlalu berat kaupikul sendirian.
Selalu ada pundakku untukmu
bersandar. Selalu ada saputanganku untukmu menghapus lelah di sisi wajah.
Selalu ada jemariku untukmu membenarkan gerai rambut. Dan, selalu ada aku pada
sarat harimu.
“Kau, masih mengingat ini?”
tanyamu, sesaat setelah memperlihatkan potret masa orientasi mahasiswa baru di
kampus.
Tentu, aku masih mengingatnya.
Bahkan, hampir gila aku mencoba melupakannya. Mana mungkin hari spesial itu aku
lupa. Perkenalan kita yang pertama, memoria kala aku tetiba bertanya, “Maaf,
nama kamu siapa? Sedang menunggu siapa?” Secepat kilat kau menjawab pelan, “Aku
Mona, kamu?” Kau pun lupa merespon pertanyaanku yang lain. Tak apa. Aku tak
perlu tahu siapa yang kautunggu. Aku hanya butuh namamu.
Lewat keberanian menegurmu
terlebih dahulu, terciptalah hari ini. Melalui obrolan kecil tanpa alur,
terwujudlah kedekatan ini. Siapa bilang
cinta tak butuh usaha? Aku begitu mensyukuri, barangkali kamu hanya
menganggap tanpa arti.
Minggu kemarin, puncak
kegelisahanmu. Terbaring tubuh lemasmu di atas dipan kamar. Melipat rona,
menguak ketakberdayaan. Kau menghubungiku tengah malam. Saat itu deras hujan
menghujam. Namun, selincah tupai melompat dari dahan ke pohon lain, aku
mengetuk pintumu dan langsung menyisipkan isyarat khawatir.
Banyak sekali pertanyaan yang
kuajukan. Sedikit sekali jawab yang kaucanangkan. Diammu menyimpulkan raga
letih. Kamu mengapa?
Aku masih membenarkan
bagian-bagian kamarmu yang berantakan. Menyiapkan air hangat untuk menyeka,
mengambil selimut ekstra agar hangatmu kian terjaga, sampai dalam pelan kau
berujar, “Atma, temani aku hingga
pagi ya, aku takut sendirian...”
“Kau butuh apa? Biar aku penuhi
segera. Makan? Iya, kamu butuh makan? Minum? Kamu haus, bukan? Bilang saja,
bilang...”
“Sudah, sudah... kau tak perlu
berlebihan. Ambilkan aku air putih, aku haus,” katamu dengan suara serak.
Air putih dalam gelas ini
hangat. Tanganmu dingin, seperti malam yang hujan. Aku membantumu duduk dari
semula terlentang. Kini, wajah kita saling berhadapan. Sangat dekat, hampir
tanpa sekat.
Aku memegangi gelas kaca itu
sembari dilapis jemarimu. Ada getar yang nyata terasa. Ada irama detak yang tak
biasa terbawa. Bersama air putih ini, aku berharap kamu sadari, jikalau ada dua
yang sangat mengkhawatirkanmu: aku, dan hatiku.
“Dia tahu kamu sedang sakit?”
tanyaku.
“Tidak, dia tengah sibuk. Aku
tak berani beritahu dia.”
Oh, jangan salahkan aku bila
terus mendoakanmu tak kunjung sembuh. Dengan keadaan seperti ini, justru aku
mampu sedekat mungkin denganmu, menjaga lelapmu sembari terus memandangi, serta
rela hariku tergadai hanya untuk menemani.
Kamu,
jangan beritahu dia aku di sini...
(IPM)
Bandung,
Maret 2014