Kamu berada di sana sendirian. Temanmu, cukuplah
sebuah buku tebal tanpa gambar. Sarat tulisan, kertas berwarna lapuk
kekuningan, tapi kamu tetap suka membacanya. Pernah kamu bilang bahwa buku-buku
lama memiliki 'tarikan' kuat untuk terus dijamah. Namun, kala itu aku tak
membantah, biarlah senyum itu mengembang kala kamu bercerita.
Sudah hampir setahun sejak pertemuan kita kali
pertama. Banyak warna yang tampak kian berubah. Beragam hal menyeruak, mulai
tabiat teman-teman yang gamang, Anton dan Desi yang ternyata diam-diam saling
suka, Ramon dan Budi yang berebut mendapatkan perhatian Karra, hingga kita.
Ada yang berbeda pada kita. Atau, lebih tepatnya padaku,
ketika menyaput ronamu. Entahlah, setiap namamu disebut oleh yang lain, tetiba
telingaku melebar ingin tahu. Perhatianku tercurah hanya pada sosok anggun mewujud
kamu. Ya, kamu, bukan yang lain.
Aku lupa tepatnya telah berapa kali memberi sinyal
padamu akan rasaku. Lewat pesan singkat pengingat doa sebelum tidur. Ajakan
makan siang berdua di kantin. Payung yang kupegang kala hujan deras menghujam,
meski kamu tak tahu jikalau setengah tubuhku basah akibat naungan yang
terlampau kecil. "Aku tak mau kamu sakit, maka kamu tak boleh terkena
hujan," alibiku sepulang mengantarmu.
Kadang, aku berpikir bahwa akulah yang kurang
hebat memberi 'pertanda', ataukah kamu yang memang tak peka. Rasaku ini agung.
Putih. Murni. Belum bercampur dengan hal lain. Maka, inginku menyampaikan rasa
ini sesegera, sebelum terlambat jadinya.
Hati ini kian mantap. Nyali ini sudah genap.
Kronologi disiapkan, segala hal dikondisikan. Setiap peristiwa apik pastilah
telah lama direncanakan.
Hari ini, petang senja, pasti kamu tengah masyuk
membaca buku sendirian di Cafe Brodova. Aku akan datang. Ya, aku akan
bersambang. Baju perlente, suara serak, serta bahan obrolan barang sejam
dikenakan.
Kamu duduk di sana. Rencananya aku akan menyatakan
cinta kepadamu, kenyataannya itu hanya selalu menjadi rencanaku.[]