Namanya,
Evin. Itu saja...
Ada yang berbeda di balik
kacamata dengan frame hitam miliknya.
Ada sepasang mata yang bersinar tak seperti biasa. Hari ini, genap sebulan aku
menjajikan untuk menggurat namanya dalam cerita. Bukan maksudku menunda
melukismu, hanya saja aku, hingga kini masih meragu.
Aku begitu takut apabila
harapmu akan goresan pena ini tak seindah angan-angan. Maka, wajibku sangat giat
menyiapkan. Beberapa hal di dunia ini terkadang sempurna apabila tercipta tak
sama. Seringkali yang berseberang justru teramat dicari.
Pelan saja, aku berkisah
mengenai dirimu. Pesanku, jangan berhenti
membaca sebelum kaulumat habis keseluruhan lariknya...
***
Setiap insan terwujud unik, tak
pernah ada yang persis sama. Setiap pikir mengalir ke muara, entah melalui
jalan tersingkat, atau berputar-putar dahulu sebelum sampai. Beberapa lelah
saat tujuan sudah dekat di pelupuk mata. Beberapa lain terus melaju, tanpa
pernah tahu sebenarnya apa maksud ketika sampai pada yang dituju.
Mengenalmu ialah sebuah
ketidaksengajaan. Tidak sengaja aku mengikuti perhelatan tulis-menulis yang
kaucipta. Tidak sengaja pula aku mendapat salah satu piagamnya. Tidak sengaja
aku datang ke Kresna dan bertatap
dalam singkap. Tidak sengaja.
Selang beberapa ganjil hari,
aku lupa tepatnya, apakah kamu, ataukah aku, yang lebih dulu menghubungi. Dalam
percakapan, kau berkabar tengah berada di kotaku. Kota sesak dengan hawa panas
khas pesisir utara.
Tentu, batinku bertanya, dalam rangka apa? Dengan siapa? Sampai kapan
di sana? Jawabmu kala itu tak biasa. Dan, aku sampai kini masih
mengingatnya. Sampai besok, dengan teman,
dalam rangka liburan, sekalian ingin ke KBS, katamu.
Apa
menariknya dengan tempat berkandang banyak tapi tak terawat itu? Kau tahu, aku yang tinggal di
kota ini saja hanya sekali bersambang ke sana. Itu pun saat masih berusia
belia, ketika guru taman kanak-kanak membujuk para orangtua untuk menggiring
anaknya ke sana. Alibinya satu: agar
lebih mengenal alam.
Namun, kau tidak sedang bergurau
mengenai kenangan masa kecilku. Kau ingin sekali mengunjungi tempat itu. Barangkali,
kau ingin membuktikan kabar-kabar burung yang beredar di media massa.
Kabar mengenai seekor jerapah
yang mati akibat memakan plastik-plastik sisa pengunjung. Kabar soal singa yang
terbelit kawat besi hingga tak kuat membuka mata lagi. Kabar tentang sebuah
kandang tak layak dengan penghuni unggas yang berjubel tak karuan.
Oh, ada banyak hal kejam mengenai
KBS. Ada banyak rencana lain perihal pengalihan fungsinya. Wacana tentang
pembangunan mall di lahan tersebut
hangat menyeruak. Untuk tujuan itu, mungkin satu per satu satwa perlu
dimusnahkan. Untuk capaian itu, barangkali harus ada berita mengenai kematian
hewan tiap harinya.
Ini tentu sah-sah saja apabila
disandingkan dengan pemilik yang bertangan besi. Katanya, KBS selalu rugi. Ya,
wajar saja bila terbesit untuk mengubah fungsi. Katanya, KBS tidak jelas siapa
yang mengelola. Ya, wajar saja jika saling melempar tanggung jawab akan siapa
yang salah.
Semua
wajar, kan? Aih, justru yang tak wajar itu kamu, yang ingin bersinggah di situ, ujarku.
***
Aku tidak akan banyak
berkomentar tentang apa-apa yang kurang kumengerti. Sebab, tong kosong dengan
bunyi nyaring akan lebih menyebalkan ketimbang keheningan. Yang kutahu mengenai
KBS cuma itu. Yang kutahu mengenai dirimu hanya itu.
Maaf jikalau cerita ini tanpa
alur. Apabila ada lain waktu, barangkali aku perbaiki. Satu hal darimu yang
kupelajari: Being unique is better than
being perfect.
Namanya,
Evin, unik pribadinya. Itu saja...
(IPM)
Bandung,
Maret 2014