“Mengapa
takut berbagi cerita?” tanyaku kepada salah seorang teman.
Jawabnya,
“Aku tak cukup berani apabila dunia menertawai kisahku.”
“Adakah
yang lucu dari ceritamu?” balik aku bertanya.
“Tak
tahu, hanya saja kisah pelikku terkadang menjadi bahan lelucon bagi seseorang,
yang aku kira sama sekali tak ada sisi terlucunya...”
Pernahkah
kita menertawakan diri sendiri, jauh sebelum menjadikan orang lain sebagai
bahan tertawaan. Belajarlah pada para sufi, mereka terlampau mahir melihat
kelucuan dalam diri hingga menertawai. Lebih keras, lebih lantang.
Sebab,
kita memang tak bisa melihat tengkuk kita sendiri, bukan?
Lantas,
mengapa tertawa keras dan lantang ketika melihat tengkuk orang lain berbeda
dengan milik kita?
Adakah
yang paling suci ialah kita, bukan mereka?
Bandung, April 2014