Aku
selalu bingung tentang bagaimana bersikap ketika berada di dekatmu. Ronamu yang
indah itu, mewujud alasan sekaligus penyebab. Bagaimana mungkin hanya karena
seraut wajah, membuat seorang lelaki tak bisa selayaknya bertingkah. Gugup.
Gamang. Bimbang.
“Kamu
sangat cantik. Terlampau cantik, bahkan...”
Itu
opiniku saja, tetapi lelaki lain aku kira pasti mengatakan hal yang sama. Sulam
alami kedua alismu tebal, menyelimuti kelopak mata yang berbinar. Mancung
hidungmu, sungguh tiada yang menyangsikan. Kalau aku boleh berkelakar,
barangkali itu ialah hidung paling indah di dunia.
Segala
kecantikan itu tak seluruhnya kamu perlihatkan. Kamu terlalu pandai membuatku
penasaran. Kerudung panjangmu membungkus mahkota wanita, menjadikannya tidak
sembarang untuk dipandang. Oh, elok sekali segala yang kau punya.
Pernah
aku membayangkan untuk memilikimu. Berharap kamu yang akan membuatkanku
secangkir teh kala pagi nanti, menyiapkan sarapan untuk berdua, serta saat
pulang kerja, hanya kamu yang kutuju sesegera, bukan yang lain.
Namun,
justru aku takut untuk berkhayal lagi. Aku khawatir kecantikanmu itu akan
merupa penghalang antara aku dan Tuhanku. Rautmu akan membayangi khusyukku
dalam beribadah. Hingga, hanya karena tak mau kehilanganmu, maka hidupku
kugantungkan padamu, bukan pada Sang Pencipta.
Aku
sebegitu takut hal itu terjadi. Bagaimanapun aku berkelit, aku tetap tak bisa
bohong bahwa kamu cantik. Sangat cantik. Terlampau cantik. Dalam lamunan, aku
terenyak oleh kalimat, “Tuhan tiada menguji seseorang di atas batas
kemampuannya. Apabila kecantikannya ialah ujian, maka Tuhan pasti tahu bahwa
kamu bisa melaluinya. Bersyukurlah, semoga Tuhan memberikanmu nikmat yang
melimpah.”
Aku
masih duduk di sini, memandangimu dari jauh. Cantikmu mutlak, tekadku untuk
mendekat kian bulat.
Tuhan, jikalau dia adalah jodohku
maka dekatkanlah. Namun, jika bukan, maka jauhkanlah...
Bandung, Mei 2014