Kamu
kurang bisa memasak, itu yang aku tahu. Namun, aku akan tetap suka. Tak perlu
kamu khawatir rasaku berubah. Resto dan warung nasi aku kira masih bisa
mengenyangkan masing-masing dari kita.
“Apa
kau tak ingin aku memasak hidangan untukmu?” dia bertanya.
“Ingin,
tapi sebisamu saja, aku tak memaksa...”
***
Pernah
suatu hari kamu membawakanku sepotong kue bolu. Darimu aku mengerti jika kue
ini ialah hasil jeripayahmu tadi pagi. Kamu membungkusnya rapi, untuk kemudian
tersaji di antara lilin-lilin meja makan.
“Ini
untukmu, cobalah...”
Oh,
betapa kue ini hambar. Manis tidak, legit tidak. Akan tetapi, siapa yang tega
mencerca setiap pemberianmu. Dengan senyum terindahku, lantas aku berkata,
“Buatkan aku lagi yang seperti ini lain kali.”
Kamu
tersipu. Sejenak, kamu merasa begitu cocok untuk jadi seorang ibu.
***
Kue
itu masih tersisa, barang secuil saja. Tak beruntung, ibumu mencicipi hasilnya.
“Ini
kue dari mana? Hambar sekali,” tuturnya.
“Tapi,
Bu, kata Atma kuenya enak. Bahkan, dia minta dibuatkan lagi lain kali.”
***
Sudah
kubilang, kamu kurang bisa memasak, itu yang aku tahu. Namun, aku akan tetap
suka. Sudah, tenanglah...