Aku
menyukai perempuan yang pernah kuajak berkunjung ke rumah. Aku lupa tepatnya
kapan. Tanggal, jam, baju yang kamu kenakan, warna kain penutup kepalamu,
hingga sepasang sepatu di kakimu aku lupa bagaimana bentuknya. Mungkin juga kamu
hanya bersandal jepit, aku juga tak mengingatnya.
Namun,
satu yang kuingat: senyummu. Lebih terkejut, ternyata Ibu dan Adikku juga
mengingat senyummu. Entah, senyum macam apa itu, yang bisa menyihir sesiapa.
“Dia
itu luwes, Nak, cepat nyambung kalau ngobrol sama Ibu dan Adikmu tadi. Berbeda
dengan temanmu yang lain,” komentar Ibu ketika kamu pulang.
Sebenarnya,
tidak hanya kamu yang berkunjung. Ada beberapa orang, teman lelaki dan
perempuan. Hampir belasan kukira. Akan tetapi, mengapa Ibu dan Adik justru memilihmu
menjadi topik pembicaraan setelahnya?
Di
tengah pertemuan itu, kamu meminta izin untuk ke kamar adikku. Hanya berdua.
Tak banyak bicara, Adik lantas bilang, “Ini urusan perempuan, Mas di sini
saja.” Oh, memang rumit apabila ingin mengerti segalanya perihal perempuan.
Apalagi yang masih belum ranum, seperti kamu, serta adikku.
Setelah
itu, kamu pamit, bersama teman lain. Ibu dan Adik ikut mengantar ke depan
rumah.
“Siapa
namanya, Nak, temanmu itu? Sepertinya baik anaknya, cantik pula,” pungkas Ibu,
sambil membereskan piring saji.
Aku
membisikkan namamu ke telinga Ibu dan seketika Ibu berkelakar, “Bagus namanya.
Kalau kamu suka, kejar dia! Pasti banyak di luar sana yang juga suka sama dia.”
Aku
mematut diri barang sebentar, lalu balik berpaling menuju Ibu yang tengah
berjalan ke dapur. “Bu, iya, Bu, pasti!”
Sejak hari itu, aku punya mimpi: membawamu
ke rumah ini lagi.
(IPM)
Surabaya, Juni 2014