Kala itu malam penuh bintang. Tak ada semarak
mendung atau awan kelabu. Warna rok flanelmu pastel, dipadu sweater coklat tua bergambar kelinci, sedangkan aku hanya memakai setelan kaos hitam polos dengan celana panjang khaki. Kamu mengajakku agar datang
untuk makan malam bersama.
Resto kecil ini, yang lebih mirip warung pojokan
kompleks, mewujud tempat pertemuan kita. Bangku kayu kosong panjang digelar. Aku, kamu, duduk berhadapan. Mata kita tepat sejajar. Bayangmu mengembang
tinggi, dan segera saja aku menangkap hitam itu.
Obrolan kita dimulai, dari seputar tempat ini,
rekan barumu, hingga yang intim seperti urusan keluarga. Kamu, dengan
terbata-bata, memaksa bibirmu untuk bercerita. Namun, seperti biasa, aku akan
menyilangkan lengan di dada, menunggumu mengutarakan semua.
“Kamu tahu cerita bagaimana ayahku mendapatkan ibu
waktu dulu?”
“Belum, berceritalah. Telingaku sudah tidak sabar
mendengarnya,” tuturku.
Lantas, kamu mendongeng layaknya ibu kepada anak
lelakinya sewaktu ingin tertidur pulas. Aku menikmati, dari intonasi, mimik
wajah, sampai raut manismu kala dengan tergesa-gesa menyelesaikan kisah.
Hidangan kita mulai habis, hampir tak bersisa.
Sebentar lagi, kutahu kita akan berpisah dari tempat asing ini.
Ya, tempat ini
asing. Makanan kita juga. Namun, adakah yang lebih asing dibanding kita berdua?
Surabaya, Juni
2014