Ayah, apa kabar? Bagaimana kehidupan di sana, apakah menyenangkan, atau biasa saja? Idham harap, Ayah selalu tersenyum di sana...
Ayah, maaf jikalau
surat ini kurang formal. Sebab, jujur saja, Idham menuliskannya dengan tergesa.
Idham ingin Ayah merasakan euforia yang sama sekarang. Tentu, bukan perkara
bola, bukan. Tapi soal Ibu.
Pasti Ayah
bertanya-tanya ada apa dengan Ibu? Tenang, Ayah, Ibu baik-baik saja. Seperti
janji Idham dulu di depan jasad Ayah, Idham akan jaga Ibu, juga Adik, dengan
sebaik mungkin. Jadi, Ayah tak perlu khawatir.
Hanya saja, Ayah, Idham
ingin menyampaikan sesuatu. Kemarin tanggal 14 Juni, hari Sabtu, ada yang
berbeda. Benar, Sabtu ini tak seperti biasa. Kenapa? Karena Ibu tengah berulang
tahun, Ayah. Tahun ini usia Ibu genap 52 tahun. Sudah lewat setengah abad.
Ayah... Ayah pasti
sudah lama tidak melihat wajah Ibu. Sejak delapan tahun silam. Iya, sejak Ayah
pergi untuk selamanya meninggalkan kami dengan alasan dipanggil Sang Pencipta.
Alasan itu klise, Ayah. Namun, tiap manusia pasti memakluminya.
Oh ya, Ayah, waktu Ayah
tiada, saat itu Idham masih kecil, masih duduk di bangku SMP. Malah, Adik lebih
parah, masih di SD kelas 5. Tapi, ternyata tanpa Ayah, kami masih sanggup
hidup. Meskipun keadaannya tidak lagi sama. Tak mengapa, segala kejadian di
dunia pastilah menorehkan hikmah. Dan, Ayah mengajarkan kepada kami bahwa hidup
adalah perjuangan.
Ayah, Idham selalu
bingung apabila ingin menjadi seorang lelaki ideal. Ketidakberadaan sosok Ayah
membuat Idham mencari-cari. Mencari seseorang yang layak dijadikan panutan.
Kalau Ayah menyuruh Idham bertanya pada Ibu, tentu itu berbeda. Sebab Ibu itu
wanita, sedangkan Ayah adalah lelaki.
Lelaki berpikir dengan
nalar dan logika, meski diimbangi dengan sekelumit perasaan. Akan tetapi,
wanita dominan menggunakan rasa. Maka, jangan salahkan Idham jika nanti tumbuh
dewasa tidak seperti Ayah, tapi seperti cara Idham sendiri. Ayah tidak
menuntut, kan?
Ayah, di sini sekarang
tengah dirayakan Hari Ayah Sedunia. Entahlah, sejak kapan hari tematik ini ada.
Dahulu, saat Ayah masih ada, Idham tak pernah mengucap ‘Selamat Hari Ayah’, terima
kasih, apalagi frasa mohon maaf. Oleh karena itu, Idham ucapkan saat ini juga
kepada Ayah, hanya saja lewat tulisan, "Ayah, Selamat Hari Ayah Sedunia, terima
kasih, serta maaf untuk segala salah."
Ayah, kiranya sudah
cukup Idham berkabar. Oh ya, Idham ingin memberitahu. Sebenarnya, Idham belum
kasih kado untuk Ibu. Tapi, Idham mau menjadikan larik surat ini merupa kado
itu. Mewujud ungkapan narasi rindu tentang Ayah terdahulu.
Jujur, Idham ingin
membacakannya di depan Ibu. Idham mau menyaksi Ibu tersedu air matanya. Bukan
bersebab sedih, tetapi bahagia sembari mengingat memoria lama bersama Ayah.
Ayah, Ibu masih cantik,
secantik Adik. Ayah pasti tidak percaya, padahal tak pernah Ibu melakukan
perawatan atau totok aura. Oh iya, Ayah, doakan kami agar tetap diberi
keberkahan hidup dari-Nya, seperti kami senantiasa mendoakan amal baik Ayah agar
diterima oleh-Nya.
Ayah, Idham pamit dulu.
Idham sudah besar sekarang. Akan tetapi, Idham tetap mau bilang, Idham rindu
Ayah. Masih pantas, kan?
Sampai jumpa, Ayah,
Idham janji akan terus memberi yang terbaik untuk Ibu dan Adik... demi Ayah.
Selamat Hari Ayah
Sedunia!
Ayah terus tersenyum ya
di surga.
Salam,
dari anakmu tercinta,
Idham P. Mahatma.