Ada yang menarik ketika saya berbincang dengan teman perempuan saya yang tengah KKN di luar Pulau Jawa. Tepatnya, di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Barangkali, awal obrolan kami terkesan sekadar basa-basi, bertanya kabar, perihal bagaimana keadaan di sana, dan lain topik sebagai pelengkap.
Namun,
pembicaraan datar itu berubah menarik ketika di tengah chatting via line, teman perempuan saya ini melempar topik tentang Anak Nelayan Tanjung Bajo. Sontak, saya
menimpali dan bertanya, siapa mereka? Apa
yang berbeda dengan anak nelayan lain di pesisir Indonesia?
Panjang
saja, Pristy, nama teman perempuan saya ini menjawab, “Mereka itu anak-anak
dari Suku Bajo. Di sini mereka migrasi dari Pulau Sulawesi. Orang tua mereka
seorang nelayan. Namun, kondisinya teramat kasihan.”
“Oh, begitu,” pungkas saya. Akan tetapi, belum saja saya selesai berkomentar, saya melihat posting Pristy yang lain di akun Path pribadinya. Pristy mem-publish potret wajah enam orang Anak Nelayan Tanjung Bajo lengkap dengan background pesisir Pulau Rote.
Yang
saya garisbawahi bukanlah foto Pristy dengan mereka, melainkan potongan kalimat
caption di bawahnya. Isinya: Senyum, canda, dan tawa mereka begitu
ikhlas walau dalam segala keterbatasan. Tidak ada yang tahu, bisa saja di
antara mereka ada yang menjadi menteri 20 tahun mendatang. #Generasi Muda
Harapan Bangsa #Anak2 Nelayan Tanjung Bajo.
Orang
awam seperti saya, pasti penasaran. Sebenarnya,
siapa Anak Nelayan Tanjung Bajo ini? Mengapa mereka memilih profesi sebagai
nelayan? Mengapa mereka indentik dengan kemiskinan dan keterbelakangan tingkat
pendidikan? Maka, seharian ini saya berselancar, bukan di perairan Rote
yang kata Pristy bagus, tapi di depan layar laptop ini.
Hmm,
ternyata cukup banyak artikel yang mengulas tentang Anak Nelayan Tanjung Bajo
ini. Setelah melotot seharian, ulasan dari kacamata saya sebagai berikut.
Asal-muasal
Suku Bajo (Bajau) Indonesia dari Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Saya
menyebut Suku Bajo Indonesia bukan tanpa alasan. Sebab, sebenarnya Suku Bajo
ini terdapat juga di luar Indonesia. Misalnya saja, di Malaysia, Thailand, dan
Filipina. Bahkan, lebih terkejut lagi, Suku Bajo ini telah membentuk sebuah
wadah bernama The Bajau International
Communities Confederation (BICC). Tujuannya satu: untuk memajukan Suku Bajo
yang masih tertinggal oleh Suku Bajo lain yang sudah terlebih dahulu sukses.
Mereka juga tercatat sebagai putra dunia di UNESCO, PBB. “Kita bukan suku milik
suatu negara,” ujarnya.
“Mungkin
ini miniatur suku modern pada abad 20,” batin saya berkelakar. Namun, seperti
biasa, kabar negatif itu akhirnya datang juga. Ternyata, dari keempat Suku Bajo
tersebut, Suku Bajo Indonesia ialah yang paling tertinggal. Mereka masih hidup
dalam kondisi yang memprihatinkan.
Mengapa demikian?
Bayangkan
saja, jika Suku Bajo Malaysia sudah berpikiran modern dengan menjadi nelayan
maju dan bermodalkan peralatan lengkap untuk memburu ikan, Suku Bajo Indonesia
masih memanfaatkan perahu kayu sederhana dan jaring untuk menyambung hidupnya.
Lebih
maju lagi di Thailand. Suku Bajo di sana menjadikan Phuket, wisata terkenal di Thailand, sebagai salah satu bisnis yang
mereka jalankan. Pendapatannya pun besar sehingga terlampau cukup untuk
memajukan peradaban mereka.
Kontras
dengan di Indonesia, Suku Bajo pribumi hidup nelangsa, tersebar di sekitaran
Pulau Sulawesi, Lombok, dan Flores Timur. Bagi Suku Bajo, melaut adalah tujuan
hidup. Profesi nelayan merupakan mata pencaharian utama yang turun-temurun.
Bahkan, pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup.
“Suku
Bajo mampu bertahan melawan kerasnya hidup di lautan dengan menjadi nelayan,”
papar Abdul Manan, Presiden Suku Bajo Indonesia, membincangkan betapa sulitnya
Suku Bajo menghadapi kehidupan sosial yang dinamis.
Seperti
pada Pulau Sama Bahari, di sana Suku Bajo mendominasi sekitar 364 keluarga.
Rumah penduduk di sana terbuat dari bambu, dan lagi, mereka hanya bekerja sebagai
nelayan.
Dari
segi pendidikan, barangkali sudah kepalang jauh tertinggal. Di pulau yang sama,
hanya terdapat satu Sekolah Dasar (SD). Apabila lulus dan ingin melanjutkan,
maka mereka harus menyeberang ke pulau lain. Namun, realitanya, anak-anak Suku
Bajo memang tidak didorong bersekolah oleh orang tuanya, sehingga fakta
menunjukkan taraf pendidikan mereka tertinggal.
Kegelisahan
Abdul Manan, yang juga merangkap sebagai Kepala Bappeda Wakatobi, Sulawesi
Tenggara, nampaknya dirasakan pula oleh teman perempuan saya ini, Pristy.
Bayangkan saja, Pristy menulis bahwa ‘siapa yang tahu Anak-anak Bajo tersebut
bisa menjadi menteri 20 tahun mendatang’.
Dalam
hati saya, “Mana mungkin?” Jabatan menteri itu untuk anak-anak pintar yang
beruntung mengenyam pendidikan di universitas elit sewaktu muda. Lalu dengan
kelihaian dan ketekunan menjadi seorang profesional. Selanjutnya, mereka terjun
ke dunia politik dan alhasil, mungkin bisa menjadi menteri.
Sementara,
untuk Anak-anak Bajo, bahkan urusan sederhana seperti membaca dan menulis saja
masih terlampau rumit diselesaikan. Butuh usaha sangat, sangat, sangat keras
untuk bersaing dengan anak-anak di Jawa yang notabene memiliki taraf pendidikan
lebih baik.
Lalu,
pertanyaannya sekarang, “Mau apa setelah ini? Cuma cukup tahu? Hanya berakhir
di tulisan laman pribadi sebagai informasi?”
Jawabnya
tidak. Rekan-rekan di UGM, bersama Pristy, teman perempuan saya, berinisiatif
melakukan KKN di sana. Tidak hanya Suku Bajo yang dibantu, penduduk asli Rote
Ndao juga menjadi sasaran mereka. Dua bulan itu sebentar, tapi tanpa inisiasi
takkan bisa meruap perubahan.
Senada
dengan Pristy, Abdul Manan juga tak berpangku tangan melihat Suku Bajo dalam
kondisi sedemikian. Beliau turut serta membangun sekolah khusus di Kendari
untuk memberikan kesempatan anak-anak Suku Bajo bersekolah gratis. Di pulau
yang dihuni Suku Bajo, beliau juga memberikan sistem Kejar Paket untuk
menanggalkan stigma pendidikan tertinggal.
Yang
seperti ini justru jarang di-blow up
ke publik sehingga massa tidak tahu. Mungkin, apabila orang seperti Abdul Manan
ini tidak hanya satu, bukan tidak mungkin 20 tahun mendatang ada satu di antara
jajaran menteri Indonesia yang berasal dari Anak Nelayan Bajo.
“Nanti,
kalau aku jadi menteri sosial, pasti aku perhatikan rakyat Indonesia yang masih
hidup dalam kondisi memprihatinkan, seperti di sini,” kata Pristy, di akhir
obrolan singkat itu.
Kalau
dilihat-lihat, kamu itu mirip Abdul Manan, tapi dalam wujud perempuan.
(IPM)
Surabaya, Juli 2014