“Tinggi seorang lelaki adalah ditambah dengan janjinya,” tercetak di halaman sekian pada buku kepribadian. Aku kira, ada benarnya juga kalimat itu.
Salah satu janji terlama yang
baru bisa kutepati adalah ini: menulismu. Bahkan, tak seperti barang biasanya,
jemariku sukar sekali menari dengan sesuka di atas tuts alfabet. Entah mengapa.
Entah ada yang salah, atau bagaimana.
Yang kutahu, kamu suka melempar
kata-kata berlarik sastra. Hanya itu. Tak kulebihkan. Juga tak kukurangkan. Maaf jikalau aku apa adanya.
Dengan bahan sesedikit itu,
lantas aku harus mengguratmu dalam berbait kalimat yang panjang, yang bersajak,
serta yang akan membuatmu tersenyum kala membacanya. Oh, betapa itu susah.
Bukan. Bukan kamu yang salah.
Aku saja yang tidak cukup mengenalmu, Nafyza.
Namun, janji adalah janji, yang
harus ditepati sebelum berubah maknanya mewujud ingkar. Maka, untuk melunasi, aku
mulai tenggelam mencari tahu siapa kamu dan apa-apa saja karyamu. Tenang, tak
ada maksud lain, hanya ingin menuntaskan piutang tulisan.
Kalau kamu bertanya apa saja yang
sudah kuperbuat, jawabnya satu: membacamu.
Bukankah untuk menulis, kita
harus membaca terlebih dahulu? Bukankah untuk mengerti, kita harus giat
mencari? Dan, itu caraku untuk melukis aksara ini.
Kamu itu penunggu, ya kan? Aku memahami dari frasa pembuka
di laman pribadimu. Ini bunyinya: sinar matahari yang selalu menanti hujan
untuk mencipta pelangi.
Kalau boleh kuterjemahkan
sendiri, tentu ini akan sangat subjektif, maka kuterka ‘sinar matahari’ itu
kamu, lalu ‘hujan’ adalah sesiapa yang kamu tunggu, serta ‘pelangi’ ialah
bahagia. Kuharap tebakanku tidak
mengada-ada.
Gadis
matahari, gadis matahari. Jangan terlalu lama menanti, carilah yang
pasti-pasti.
Saat bosan membaca ‘slogan
penantian’, mataku tertarik mencerna Tanpamu,
Aku Tetap Berlalu. Guratan yang kamu buat di bulan Juni penghujan. Kini, kamu,
gadis matahari penunggu, berubah menjadi gadis matahari yang tegar. Karena,
meski tanpa dia, kamu masih kuasa berjalan melanjutkan arah.
Aku
salah menamaimu gadis penunggu. Maaf.
Dan, selanjutnya, gerik mataku
semakin liar membaca. Huruf-huruf kecil bertipe arial segera dilahapnya. Mulai
dari Kita, Jiwa yang Terbelah Dua, Ini
Musim Hujan Terlama: Tanpamu, Waktu: Mengajariku untuk Menunggu, hingga
yang terbaru di sana, Mengenalmu Sesabar
Waktu.
Tulisanmu itu puisi. Kadang
sedih, lebih banyak perih. Namun, dari sekian larik yang kucerna, aku menyukai
karya berjudul Menjadi Tanpa. Sederhana,
tidak dibuat-buat, tapi terkesan elegan dan mahal. Bagaimana soal isi? Tentu berkisah tak jauh-jauh dari sendiri,
serta kesendirian.
Mungkin itu ciri khasmu. Tak mengapa,
coz being unique is better than being
perfect.
Kamu bisa menulis, simpulanku
setelah membaca. Kamu bisa bercerita, simpulanku setelah mencerna. Kamu bisa
terus berkarya, kalau saja lamanmu itu terus kamu isi dengan berbagai kisah.
Kalau ibumu jadi orang pertama
yang mempercayai bahwa bakat menulismu itu ada. Barangkali aku bersedia mewujud
orang kedua yang menyaksinya.
Lunas
ya... sah!
Salam, Tukang Cerita.
(IPM)
Bandung,
Agustus 2014